Minggu, 25 Mei 2014

SENYUM SANG BIDADARI


Tulisan ini mengetengahkan pernak-pernik yang menghiasi hubungan antar manusia yang terbentuk, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan keluarga, disertai bermacam problema yang terjadi di dalamnya. Kisah yang bergulir di dalam suatu kurun waktu di awal tahun 2013 ini dituturkan oleh empat pribadi yang berbeda dengan 'kacamata'-nya masing-masing. Selamat menikmati...



1
Bintang Bintang Cemerlang


Nandya:
Jumat, 11 Januari 2013, jam 6:30 pagi.
Lalu-lintas di Jalan Mampang Raya menuju Jalan Kapten Tendean mulai terasa padat namun masih lancar. Aku memutar kemudiku ke kanan, memasuki jalan Mampang Prapatan VIII menuju rumah tempat tinggal Sinta. Dinihari itu ia menghubungiku melalui telepon, memintaku agar menjemputnya untuk bersama-sama berangkat ke kantor karena mobil kesayangannya sedang masuk bengkel perawatan.

Aku menghentikan mobilku tepat di depan rumahnya lalu memanggilnya melalui telepon selularku, memintanya agar segera keluar supaya kami bisa langsung berangkat untuk menghindari kemacetan lalu-lintas. Ia pun keluar dengan lambaian tangan dan senyumnya yang khas. Ia lalu masuk ke mobilku sambil mengunyah sepotong sandwich.

“Gak usah muter lagi kak Ndai, kita lurus aja,” katanya. ‘Kak Ndai’ adalah nama yang digunakannya untuk memanggilku. Lalu lanjutnya; “Di depan tu ada jalan umum, namanya Jalan Tegal parang. Entar kita belok kiri, lurus aja sampe ketemu Jalan Gatot Subroto. Di situ langsung ambil kanan aja, arah ke Kuningan. Jangan ambil kiri. Yang ke kiri itu....”
“Udah tau, neng, tenang aja,” jawabku, memotong uraiannya yang mungkin akan panjang.
“Oh, pernah lewat sini?” tanyanya, sambil melap mulutnya dengan tissue.
“Sering, dulu, waktu gue masih sekolah. Kan nenek gue pernah punya rumah di daerah sini.”
“Oh, nenek kak Ndai pernah tinggal di sini juga? Nenek dari pihak siapa nih kak?”
“Dari pihak siapa ya? Dari pihak yang berwajib kali.”
“Hahahahhhh!” ia tertawa renyah, “Emang, neneknya polwan? Ngasal.”
“Ya elu, kepo. Nanya yang gak penting-penting. Mendingan pasang seat-beltnya gidah. Takut entar lupa.”
“Aku nyalain radionya ya?”
“Nyalain aja.”

Ia segera menyalakan radio mobilku, lalu memindah-mindahkan frekuensinya secara acak sampai terhubung dengan sebuah saluran lokal yang kala itu tengah memutar lagu-lagu berirama alternative dance. Maka berkumandanglah sebuah lagu lama berjudul Unbelievable. Ia pun menggoyangkan badannya.

“Ni, yang gue cari,” katanya, lalu menoleh ke arahku, “Semangat kak!”
“Pagi-pagi gini, biasanya sih gue dengerin berita.”
“Aku biasanya dengerin ginian.”
“Bukannya gak suka musik. Gue cuma gak mau ketinggalan berita penting.”
“Berita bisa didapet kapan aja kak. Semangat kan gak setiap waktu. Membangun semangat bisa mempertinggi produktifitas, ya kan?”
“Iya juga sih.”
  
Sinta Dorthina Tobing, 24 tahun, adalah wanita cantik berdarah campuran batak-minahasa. Ia bekerja sebagai staf  Seksi Pengesahan, Divisi Pembayaran, di Bagian Keuangan Perusahaan StarFix Custody Corporation Ltd. Ia baru saja melalui masa percobaan dan dinyatakan lulus sebagai pekerja tetap. Aku sendiri telah hampir lima tahun bekerja di perusahaan yang sama, mengepalai Divisi Pembinaan dan Pengembangan Pegawai, di bawah Bagian Personalia.

Sinta dibesarkan di lingkungan keluarga berada. Ia termasuk anak yang mengecap kasih sayang orang tuanya lewat cara asuh yang baik. Ia memperoleh pendidikan dan segala keceriaan sebagaimana yang selayaknya dirasakan oleh seorang anak. Ia tumbuh sebagai wanita periang, pemberani, terbuka dan memiliki kepercayaan diri yang besar.

Sebelum ia masuk ke kantor itu, kami telah lama saling mengenal sebagai sesama anggota sebuah kelab kebugaran. Meskipun usianya jauh lebih muda dariku dan jenjang karir serta kepangkatannya terpaut tiga tingkat di bawahku, tak sedikitpun ia merasa minder dan sungkan kepadaku.

Lampu lalu-lintas menyala merah ketika kami tiba di perempatan jembatan layang Kuningan. Kaca jendela sebuah mobil jenis SUV (Sport Utility Vehicle) di samping kiri kami tiba-tiba terbuka, lalu terdengar bunyi klakson pendek bernada menyapa. Sinta menoleh ke arahnya, namun segera berpaling kembali dengan raut muka seperti orang yang baru saja mencicipi jeruk nipis. Aku sendiri  tak dapat melihat orang itu karena jendela mobilnya lebih tinggi dari jendela mobilku sehingga pandanganku terhalang oleh atap mobilku sendiri. 

“Siapa Sin?” tanyaku.
“Gak tau, gak kenal! Paling juga om-om celamitan,” jawabnya tanpa antusias.
“Ah, masa iya ada om-om celamitan pagi-pagi gini?”
“Abis, kenal juga enggak, cengar-cengir, dadah-dadah.”
"Cakep gak?"
"Lumayan."
“Bales aja kali Sin. Siapa tau temen kantor.”
“Kaaalo temen. Kalo bukan? Entar dia kege-eran, kita yang repot. Ogah ah.”
“Kalo ternyata temen, gimana?”
“Gampang tinggal minta maap. Daripada resiko digombalin om-om ganjen? Kak Ndai mau?”
“Ya enggak sih.”
“Makanya.”
“Tapi kan...”
“Kak Ndai ah, please deh. Tuh, udah ijo lampunya. Yuk cap-cuss. Aku pengen pie nih!”

Ketika lampu kembali menyala hijau, SUV itu mengambil posisi tepat di belakangku. Kini aku dapat melihat dengan jelas setiap orang yang ada di dalamnya. Hanya ada satu orang saja di sana, duduk di belakang kemudi. Dan aku kenal siapa orang itu. Ia tak lain dan tak bukan adalah Jumed Sumohadi, Kepala Bagian Keuangan yang baru, calon boss baru Sinta, yang akan mengawali tugasnya pada hari Senin nanti, menggantikan posisi pejabat lama yang telah habis masa kontraknya dan akan segera di tarik pulang ke negerinya. Aku memang tak sempat memperkenalkan pria itu kepada Sinta di hari sebelumnya sebab ia sedang diperbantukan di kantor cabang kami, di Jalan Matraman.

SUV itu, tentu saja, tetap mempertahankan posisinya membuntuti kami melintasi kawasan Mega Kuningan, menyusuri jalan Cassablanca, berputar di bawah jembatan layang Karet dan berbelok ke kiri, ke arah gerbang belakang komplek gedung perkantoran kami, lalu ikut mengantri pengambilan tiket di mesin secure parking. Setelah menemukan tempat yang cocok, aku memarkir mobilku di area parking lot yang terletak di dekat pintu masuk gedung.

“Kok tu orang ngikutin kita sih? Apa kantornya di sini juga?” Sinta bergumam.
“Kantor dia emang di sini juga sih, Sin,” kataku, menanggapi ucapannya tersebut.
“Lah, kak Ndai kenal?” tanyanya setengah terkejut.
“Ya kenal lah, orang sekantor,” jawabku. Ia melirik sambil mengerutkan keningnya..
“Serius? Kok nggak bilang dari tadi? Bikin aku parno aja.”
“Ya tadi kan mukanya gak kelihatan. Mana gue tau, kalo itu dia.”
“Emang sih, kayaknya aku pernah lihat itu orang. Tapi lupa kapan.”
“Mungkin pas dia lagi mampir. Soalnya sampe kemaren ini dia ditugasin di Kantor Cabang Medan. Nah sekarang dia ditarik lagi ke Jakarta. Besok Senin dia mulai aktif.”
“Emang siapa sih dia kak?”
“Jumed. Senior gue di sini. Orang hebat.”
“Jumed...” Sekejap ia tertegun, lalu tiba-tiba ia menatapku dengan wajah pucat seperti orang terserang demam tinggi. “Jumed tuh bukannya nama boss aku yang baru?”
“Ya betul. Jumed Sumohadi. MBA. Kepala Bagian Keuangan yang baru”
“Alamaaak,” desahnya sambil membelalakkan matanya, “Mampus dong gue!”
“Kenapa?”
“Tadi di jalan, dia aku cuekin abis.”
“Ya gapapa kali. Kan tadi emang lo belom kenal. Dia juga belom kenal elo.”
“Tapi kok tadi ketawa-ketawa ke aku? Pake dadah-dadah, lagi.”
“Mungkin tadi dia ngenalin mobil gue Sin. Dikiranya, elo asisten gue, kali.”
“Oo iya, kali ya. Terus, gimana dong kak. Ah, bodo ah. Masa iya gue dipecat gara-gara cuek?”
“Asal jangan sampe dia tau aja, kalo lo tadi sempet ngatain dia ‘om-om ganjen celamitan’,” kataku. Ia menoleh seketika ke arahku bagai ditampar hantu.
“Ya jangan, gila!” serunya, “Mampus aja gue kalo sampe dia tau.”
“Lah, kata lo tadi, gampang tinggal minta maaf.”
“Ini lain perkara. Jangan sampe kak Ndai keceplosan. Oke? Janji ya, please, please, please.”
“Insyaallah.”
“Kok insyaallah? Yang serius dong kak.”
“Dalam agama gue, ucapan insyaallah itu ucapan serius Sin. Lebih serius dari sekedar janji.”
“Sip lah kalo gitu. Thanks ya kak. Tapi sorry, aku duluan ya, aku mau ke toilet. Kebelet!”

Ia turun dari mobilku lalu dengan setengah berlari segera bergegas pergi menuju lobby gedung perkantoran kami. Aku melirik arlojiku. Jam 07:22. Aku pun turun dari mobilku lalu meraih handbag untuk disangkutkan di bahuku, kemudian menutup pintu mobil dan mengaktifkan alarmnya. Aku berjalan dengan santai mengingat kantor kami baru akan aktif jam 08:00 dan akan memulai aktifitas penuh melayani publik jam 09:00. Kulihat Jumed menghampiriku sambil melambaikan tangan. Aku berhenti untuk menunggunya.

“Assalamu’alaikum mbak Nandya, apa kabar?” tegurnya dengan sopan.
“Wa’alaikum salam, pak Jumed. Baik, alhamdulillah. Pak Jumed sendiri gimana? Sehat?”
“Alhamdulillah, atas doa mbak Nandya. Biasa dateng pagi ya mbak ya?”
“Iya pak Jumed. Biar nggak kejebak macet.”
“Oh, ya betul itu mbak. Cocok sekali.”
“Pak Jumed juga biasa dateng pagi nih rupanya?”
“Iya mbak Nandya, saya juga lebih memilih dateng pagi,” katanya. “Jadi kita ini mbak Nandya, dengan cara begini, bisa dapet tiga keuntungan sekaligus. Pertama, ndak kena macet, iya to? Yang ke-dua, udaranya juga masih seger. Terus ke-tiganya, anu, apa itu? Disiplinnya tu dapet, gitu lho, senantiasa terpenuhi. Iya to? Berarti mbak Nandya ini, sepandangan dengan saya.”

Di koridor elevator, kami mendapati Sinta baru saja keluar dari Rest Room. Melihat kami datang menghampiri, ia pun melempar senyum kepadaku lalu menganggukkan kepalanya kepada Jumed. Kala itu pintu salah satu lift sedang terbuka dan kami bergegas memasukinya bersama beberapa pengguna lainnya. Ketika aku hendak memperkenalkan Sinta kepada Jumed, tanpa diduga tiba-tiba Jumed menyapa Sinta.

“Halo Sinta,” katanya sambil tersenyum ramah.
“Halo. Eh, maaf, selamat pagi pak Jumed,” jawab Sinta dengan tergagap. Ia mengerling padaku dengan tatapan penuh tanya. Aku pun mengangkat bahu sebagai tanda bahwa aku juga tak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi.
“Ah, ternyata kamu masih ingat saya. Saya senang sekali. Ndak disangka ya, akhirnya kita bisa jadi teman kerja,” kata Jumed kemudian.
“Iya pak. Nggak disangka,” jawab Sinta sambil tetap mengerutkan keningnya, berfikir keras.
“Sukurlah. Waktu saya minta tolong kamu mengerjakan laporan saya dulu itu, saya berdoa semoga kamu berhasil melewati masa probation. Soalnya saya seneng lihat respon, kecepatan, cara dan hasil kerja kamu. Alhamdulillah, doa saya terkabul. Iya toh? Malahan saya sekarang ditugasi memimpin Bagian tempat kamu bekerja. Seneng aku.”
“Oh, iya,” jawab Sinta dengan wajah cerah, “Saya juga senang. Terimakasih atas doanya ya pak." Akhirnya ia ingat kapan dan bagaimana mereka pernah bertemu. Rupanya Jumed pernah memintanya tolong mengerjakan sesuatu di saat ia masih menjalani masa percobaan.
“Ya, sama-sama. Siap-siap ya Sinta, besok Senin, kita akan memulai hari yang baru di kantor kita. Banyak hal-hal besar-kecil yang sepertinya mesti kita beresin. Kamu bantuin saya ya?”
“Iya pak, pasti pak. Siap!”
“Bagus sekali. Oke kalo begitu ya, bu Nandya, Sinta, saya harus ke lantai lima. Sampe hari Senin ya. Sukses ya. Assalamu’alaikum.” kata Jumed sebelum melangkah keluar di lantai 5.
“Wa’alaikum salam, sukses pak,” jawabku dan Sinta secara bersamaan.

Sepeninggal Jumed, Sinta menarik nafas dalam-dalam dan melepasnya dengan penuh kelegaan sambil sedikit mengibaskan rambutnya seakan-akan beban di kepalanya baru saja lepas. Setibanya di lantai 8, kami pun keluar. Di ujung koridor, kami harus berpisah sebab kantorku terletak di sisi kanan, sedangkan kantor Sinta terletak di sisi kiri. Di sepanjang koridor itu aku merangkul pundaknya yang sedikit lebih rendah dari pundakku.

“Pantes aku nggak ngenalin. Dulu dia pake kacamata tebel, bukan soft lens,” kata Sinta.
“Tau nggak Sin,” kataku, “Ini hari, bisa jadi hari keberuntungan buat elo.”
“Kok bisa gitu kak?”
“Pertama, pak Jumed inget elo, dia inget nama lo. Itu poin banget buat elo.”
“Puji Tuhan. Terus kak?”
“Ke-dua, dia minta elo bantuin dia beresin banyak masalah, secara langsung, face to face. Itu juga poin sebab sebenernya secara struktural dalam kerja, elo itu sebates bertanggung-jawab ke Nicky, Nicky bertanggung-jawab ke mbak Wiwik, baru, mbak Wiwik ke pak Jumed. Nah, secara nggak sadar, elo udah berhasil dapetin yang disebut 'the moment of truth' di level yang bagus, Di mata pak Jumed, sementara ini elo punya nilai lebih dari cuma sekedar staf biasa. Itu musti lo jaga bener-bener. Asal lo tau, pak Jumed itu calon International Officer, artinya, dia itu bisa ditempatin di mana aja di seluruh dunia sebagai Deputy, atau malah CEO yg mimpin persusahaan di negara mana aja. Lewat pak Jumed, insyaallah karir lo bakal melesat.”
“Amin, ya Tuhan.”


Jumat, 11 Januari 2013, jam 9:30 pagi.
Aku tengah asik memeriksa incoming tray dan outgoing tray (nampan-nampan plastik tempat surat-surat yang baru masuk dan surat-surat yang hendak dikirim keluar) kala itu, ketika Spinette dengan santai memasuki ruang kantorku yang pintunya belum kututup. Kemunculannya di ruang kantorku membuat jantungku berdebar-debar.

“Morning Nandya,” sapanya, sambil tersenyum lebar.
“Good morning Mr. Spinette,” balasku.
“Pierre, please,” tukasnya. Ia minta dipanggil dengan nama itu.
“Pierre, is there anything I can do for you?” tanyaku, kalau-kalau ia memerlukan bantuanku.
“Yes, I need your help,” jawabnya, mengiyakan.
“Oke. I’ll be just a minute. Would you please have a seat,” kataku, mempersilakannya duduk dan menunggu sebentar.

Jean Pierre Spinette adalah salah seorang International Officer yang saat itu menjabat sebagai Deputy dan bertugas khusus membantu CEO (Chief Executive Officer) perusahaan kami. Ia warga negara Filipina berdarah Perancis. Ia seorang duda beranak satu. Anak perempuannya, Audree, bersekolah di salah satu sekolah internasional yang cukup terkemuka di Jakarta. Isterinya meninggal dunia di kala Audree masih berusia 9 tahun.

Ia menghempaskan dirinya di salah satu sofa tamu di ruang kantorku sementara aku memanggil Maudy, sekretarisku, untuk segera mengelola surat-surat yang telah kutanda-tangani serta membuat beberapa konsep surat balasan. Setelah Maudy pergi, aku pun segera menutup pintu lalu duduk di hadapan Spinette dengan posisi sesopan mungkin. Kedua matanya yang cokelat memandangi wajahku dengan tatapan sedemikian rupa hingga membuat bulu kudukku merinding. Harus kuakui, wajahnya tampan sekali.

“Well, then Pierre, what is it about?” tanyaku.
“Have you got our official circulair?” Ia balas bertanya. Yang ia maksud pasti surat edaran yang dibagikan khusus bagi para pejabat setingkat manager tentang sebuah kasus yang terjadi di kantor cabang kami di kota Padang baru-baru ini.
“The one that refers to the Padang case,” kataku untuk memastikan.
“That’s it.”
“Yes I have.”
“And what do you say?” tanyanya, meminta pendapatku.
“I’d got no idea, Pierre. The case is so unusual. Nothing was like this before. I hope there will be an intensive investigation immediately,” jawabku, mengutarakan bahwa aku tak tau harus berbicara apa sebab kasus yang terjadi kali ini sangatlah tidak biasa. Aku hanya berharap kasus tersebut akan segera diselidiki secara intensif secepatnya.
“The investigation has just begun. I’m the one who get in charge,” jawabnya, bahwa penyelidikan itu telah dimulai dan dialah yang memimpin penyelidikan itu.
“Oh, that’s great, I’ll do my best to support,” kataku, bahwa aku siap mendukungnya.
“Thank you,” katanya sambil menangkupan kedua telapak tangannya, “Your support is so important this time. Now, I had been confirmed that there is a file under your responsibility code named Randai. I would like to start my job with that, if you don’t mind,” lanjutya. Ia tertarik pada berkas rahasia yang kami beri kode 'Randai' yang sepenuhnya berada di bawah tanggung-jawabku untuk menjaganya.
“Sure, Pierre. But firstly, please be confirmed that until this second the package is confidential. We should keep it that way until the whole case is discovered.”
“I understand. You got my promise.”

Aku segera membuka brankas tempat menyimpan surat-surat dan berkas-berkas yang berstatus rahasia. File yang dimintanya terdiri dari berbagai dokumen yang telah terkemas dengan rapi dalam satu folder khusus. Hampir dua jam ia berdiam diri di sofa itu, mengamati dan mencatat dengan serius setiap lembar dokumen yang kuberikan padanya, sementara aku sendiri dengan leluasa mengerjakan tugas-tugasku di mejaku.

“Nandya,” katanya pada akhirnya, “I will ask Ira to arrange a meeting in my room on Tuesday. There will be twelve of us sitting there; Ira herself, you, Mr. Walker, Jumed, Yenny, Jalal, Hayati, Shridar, Ratna, Cindy, Wim and me. Make sure that you and Ratna will be there earlier. I really need you both. Now I have to ask Janette, my secretary to arrange Jamal, Hayati and Shridar’s ticketing and everything for their departure to Jakarta,” lanjutnya, menjelaskan bahwa ia akan meminta atasanku, Ketut Irawati (Kepala Bagian Personalia) untuk mengatur sebuah pertemuan di ruang kerjanya pada hari Selasa, yang akan dihadiri oleh 12 peserta, yaitu Ira sendiri, aku, Thomas Christopher Walker (CEO kami), Jumed Sumohadi (Kepala Bagian Keuangan), Choa Yenny (Kepala Bagian Sekuritas), Jalaludin Sjarif (Kepala Divisi Dukungan Teknik cabang Padang), Hayati Burhan (Kepala Perwakilan Kepegawaian cabang Padang), Shridar Sinivasan (Kepala Perwakilan Keuangan cabang Padang), Ratna Koeri (Kepala Seksi Kondite dan Prestasi Pegawai), Cindy Kairupan (Kepala Seksi Penerimaan, Orientasi dan Training), Wim Tanamal (Kepala Divisi Penggajian) serta Spinette sendiri. Ia meminta agar aku dan Ratna hadir sebelum rapat dimulai. Ia juga akan memerintahkan sekretarisnya Janette untuk mengurus keberangkatan Jalal, Hayati dan Shridar dari Padang ke Jakarta.

Jean Pierre Spinette meninggalkan ruang kantorku setelah sebelumnya menyalamiku sambil mengucapkan terima kasih. Sebenarnya aku berharap agar siang ini ia mengajakku keluar untuk makan siang. Harapan yang lebih pantas disebut angan-angan, atau bahkan khayalan yang nyaris tak mungkin terjadi sebab Spinette tak seberapa mengenalku dan tak pernah menaruh perhatian khusus padaku, apalagi sampai menaruh minat terhadap diriku.


Jumat, 11 Januari 2013, jam 11:32 pagi menjelang siang.
Telepon selularku tiba-tiba berdering. Aku meraihnya lalu memeriksa layarnya untuk mengetahui siapa yang tengah meneleponku. Ternyata dari Narita, seseorang yang paling kusayangi di dunia ini. Aku segera menerimanya.

“Halo sayang,” sapaku.
“Halo teh, teteh tadi pagi berangkat cepet ya teh?” tanya Narita dengan suaranya yang merdu. Suara Narita bagiku adalah suara yang paling merdu di dunia. Suara itulah yang selama ini mengisi hari-hariku. Suara yang begitu bening, polos dan mampu membangkitkan semangatku di saat-saat jiwaku sedang rapuh. Suara yang seolah datang langsung dari langit, dari bibir seorang bidadari.
“Iya adik, maap ya, teteh gak sempet nemenin kamu sarapan. Abis, buru-buru, harus ngambil surat dulu di rumah pak Wawan, udah gitu jemput Sinta di rumahnya.”
“Gak apa-apa atuh teh, Ita cuma mo minta ijin, nanti malem Ita mo nginep di rumah Intan.”
“Boleh, gak apa-apa. Udah minta ijin sama mamanya Intan belum?”
“Udah teh. Mamanya Intan seneng banget Ita mau nginep.”
“Pasti adik, dia pasti seneng. Mau bikin acara apa sama Intan?”
“Acaranya ngerjain tugas kampus teh.”
“Ya ampun. Kirain mau senang-senang. Emangnya kamu masih punya sisa tugas?”
“Masih teh, masih ada dua tugas kelompok dari dua mata kuliah pilihan. Hari Rabu harus dikumpulin. Sebenernya, kata dosen-dosennya sih, nilainya udah nggak ngaruh buat Ita. Tapi Ita pengen bantuin temen-temen yang masih butuh bobot nilainya buat ngedukung UAS. Kalo dua-duanya dapet nilai di atas sembilanpuluh kan lumayan. Abis ini kelar, Ita bebas liburan.”
“Ya udah. Kamu mau berangkat sama siapa?”
“Dijemput sama Felix pake motor.”
“Felix juga ikut nginep?”
“Enggak teh. Dia cuma mau nganterin Ita, udah gitu langsung jemput Fransisca, pacarnya. Yang ikut nginep nanti Azizah sama Patty.”
“Iya deh. Ati-ati di jalan ya cinta, helmnya dipake. Bilang sama Felix, bawa motornya jangan ngebut-ngebut.”
“Iya teh. Makasih teh. Udah ya teh, dah teteh.”
“Daah.”


Ratna:
Jumat, 11 Januari 2013, jam 9:30 pagi.
Tak seperti biasanya, pagi itu Jean Pierre Spinette mengunjungi atasanku Nandya. Tampaknya ada hal yang cukup serius untuk dibicarakan. Hal ini mungkin menjadi kejutan tersendiri bagi Nandya yang telah lama ia menaruh hati pada pria itu. Spinette sangatlah jarang kerluar dari ruangan kantornya jika tidak sangat perlu sekali. Ruang kantor Spinette termasuk salah satu ruangan yang paling mewah di gedung perkantoran ini.


Nandya, atau nama lengkapnya Nandya Maharani Sangadji adalah Kepala Divisi Pembinaan dan Pengembangan Pegawai. Kedua orang tuanya berasal dari Jawa Barat. Ayahnya, Kurnia Hendra Sangadji, adalah seorang pengusaha sukses dari Cirebon. Om Hendra - begitu, aku memanggilnya - saat ini dicalonkan menjadi calon pejabat legislatif oleh sebuah partai politik yang cukup besar. Ibunya, Arini Kartasasmita, atau tante Ani, yang nama lengkapnya sekarang berubah menjadi Arini Sangadji, adalah wanita keturunan sunda yang berasal dari Lembang, Bandung. Keluarga kami sangatlah akrab.

Selasa, 09 Februari 2010

Rumah Kecil Yang Ceria


NARITA
Sabtu, 11 April 2009, jam 09:00.
Aku memandangi Rio sepupukuku yang gemuk dengan sedikit sebal. Mengapa anak itu selalu bergerak-gerak tak bisa diam? Ia mengganggu konsentrasiku untuk membangun kembali serangan dua kudaku di atas papan catur ini.
"Ayo teh, jalan teh, jangan bengong aja. Kalo pake bendera pasti teteh udah kalah dari tadi."
"Quiet Rio..."
"Mau dikemanain sih itu kudanya dari tadi dipegangin terus. Jalan udah ketutup rapat teh."
"Just shut up."
Sebuah Taruna berhenti di muka rumah. Beberapa wanita muda keluar dan masuk ke halaman rumahku. Mereka adalah teman-teman Nandya.
"Hai Ita," sapa salah seorang dari mereka. Aku mengenalinya sebagai salah satu anggota di klub renang Nandya.
"Hai mbak Rita," balasku.
"Nandya lagi ngapain?"
"Lagi nonton VCD. Masuk aja mbak."
"O ya, kenalin, ini Dini, ini Hama, ini Erna," katanya kemudian sambil menggamit tangan teman-temannya untuk diperkenalkan denganku, "Ini Narita adiknya Nandya. Panggilannya Ita"
"Hai Ita," sapa merema hampir bersamaan.
"Haai," balasku sambil menyalami tangan mereka, "Kenalin juga ini Rio, sepupu aku." kataku kemudian, memperkenalkan Rio.
Setelah sedikit berbasa-basi, merekapun masuk ke dalam rumah menemui Nandya.
Aku kembali menatapi papan catur itu.
"Itu tadi siapa aja teh?" tanya Rio.
"Temen-temen teh Ndai"
"Cantik-cantik banget, gila."
Aku tak menggubris kata-katanya karena fikiranku terkuras oleh posisi buah-buah caturku di atas papan. Aku heran bagaimana bisa seruwet ini?
"Apalagi yang pake tank top item tuh waduh, sexy banget," sambungnya.
Aku meliriknya sekejap. Anak ini sedang berangkat dewasa. Umurnya sudah hampir 16 tahun. Tak heran jika ia mengeluarkan kata-kata seperti itu.
"Kayak pemain bokep..."
Aku terperanjat mendengar kata-katanya yang terakhir.
"Apa lo bilang?"
"Udah, ayo teh, jalan," katanya sambil menunjuk papan catur.
"Gue nggak mau ya lo mikir yang enggak-enggak di depan gue."
"Rio nggak mikirin teteh, Rio mikirin yang tadi pake tank top...."
"Sama aja. Tapi awas aja lo berani mikir macem-macem tentang gue."
"Nggak berani teh, udah ayo jalan."
Anak itu membuat rencana seranganku sedikit buyar. Aku kembali membangun rencana itu dari awal. Tampaknya serangan dua kuda memiliki prospek yang baik. Aku menggeser gajahku untuk memberi ruang gerak yang lebih bebas bagi kedua kudaku. Namun ia merebut waktuku dengan menyerang gajah tersebut dengan bidaknya. Aku memundurkan gajahku dan ia mencuri kotak itu dengan memajukan bidak yang lain. Aku terperangah. Ia menang posisi. Aku harus mengantisipasi penyusupan yang akan ia lakukan. Sepertinya ada celah yang bagus. Harus dipikirkan dengan seksama. Tiba-tiba ia membuat gerakan seperti bergidik.
"Kenapa lo?" tanyaku.
"Rio inget situs yang tadi dibuka sama temen Rio."
"Situs porno ya?" tanyaku curiga.
"Bukan teh, situs ekstrim."
"Situs ekstrim apaan?"
"Ada, situs yang isinya video-video ekstrim."
"Kayak gimana misalnya?"
"Ada orang yang tangannya diiket terus lehernya digorok pelan-pelan pake pisau sampe orangnya gelepar-gelepar sebelom mati, ada yang pinggangnya mejret terus isi perutnya keluar kegiles truk trailer sampe matanya melotot-melotot sebelom mati ada yang..."
"Aah! Anjrit! Stop... Huek! Setan!"
"Yang lebih serem lagi teh, ada anak kecil yang di..."
"Stop it Rio! Aduh... Mual perut gue, sialan! Brengsek!"

Minggu, 01 November 2009

BAB II - Secercah Sinar Bidadari

Narita
Di keremangan langit malam berselimut awan hitam tubuh itu bagaikan bayangan hilang-timbul. Aku mengamati gerak-geriknya. Ia menatap langit. Ia pasti sadar bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Memanglah, titik-titik air mulai terlihat seperti ribuan peri kecil turun ke bumi terkena pantulan sinar lampu teras belakang. Ia berjalan perlahan ke arah tangga lingkar di samping gudang. Tingkap itu memang sebenarnya merupakan atap dari gudang yang dibangun terpisah dari rumah induk yang megah itu. Ada koridor sepanjang kurang lebih tiga puluh meter ke arah sana dari pintu belakang garasi yang terletak di samping rumah.

Ia menghilang dari atap itu. Aku keluar dari kamar Intan dan berdiri di depan aquarium. Aku ingin bercakap-cakap dengannya sekali lagi. Sebenarnya cukup sering kami berpapasan dan bertegur sapa di rumah itu tapi baru tiga kali kami terlibat dalam percakapan. Suasana hatinya terlihat tidak stabil. Pada suatu saat ia terkesan hangat dan ramah, tapi di saat lain ia menjadi pendiam dan dingin. Walau demikian, dalam pandanganku ia amat sopan dan selalu menghargai orang lain.

Percakapanku yang pertama dengannya terjadi seusai sebuah pesta kecil yang sederhana di hari uang tahunnya yang ke-duapuluh sembilan, yang sebenarnya iapun malas merayakannya, Desember tahun lalu. Ketika itu kami sedang melepas Berliana dan keluarganya yang akan pulang ke rumahnya. Aku tengah mengumamkan sebuah lagu lama berirama bossanova berjudul "Girl From Ipanema" ketika kurasakan tatapannya melekat padaku. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
"Mas," sapaku ketika itu. Ia membalasnya dengan anggukan dan senyum kecil.
"Suka jazz?" tanyanya ketika itu, sambil menghampiriku.
"Suka," jawabku setengah terkejut, karena baru kali itulah ia bersedia membuka percakapan denganku.
"Jenis apa?"
"Standard, klasik, bosas, kadang juga fusion," jawabku sedikit nervous.
Ia mengangguk-angguk kecil sambil mengamatiku. Wajahnya terkesan santai sehingga rasa grogiku hilang dengan sendirinya.
"Punya koleksi di rumah?"
"Enggak sih," jawabku sambil tertawa, "Ya ada juga sih tapi terlalu sedikit buat dibilang koleksi. Biasanya kalo lagi pengen denger jazz Ita pinjem CD papi."
"Oh, ayah kamu penggemar jazz juga?"
"Penggemar abis mas. Segala macem jazz dia suka. Koleksinya satu rak penuh kayak perpustakaan. Tiap album dia kasih komentar di komputernya."
"Ayah kamu kritikus musik?"
"Bukan. Papi Ita photographer. Tapi apresiasinya ke musik juga tinggi."
"Wah, kesukaan ayah kamu mirip sama kesukaanku. Aku juga suka fotografi sama jazz."
"Oh ya? Berarti mas cocok nih, kalo ngobrol sama papi."
"Iya, ya. Ayah kamu punya galeri?"
"Punya. Kalo mas kapan-kapan main ke Bandung, mampir aja ke galeri papi. Temen-temen dia banyak yang betah ngobrol di situ berjam-jam sambil ngopi. Kadang sampe nginep-nginep."
Ia tertawa. Baru kali itulah aku melihatnya tertawa. Sebuah momen yang luar biasa bagiku.
"Kalo hobi fotografi berarti ayah kamu punya banyak kamera dong?"
"Banyak mas, dari yang jadul sampe yang paling baru. Jenisnya macem-macem, kelasnya macem-macem, ukurannya macem-macem, mereknya juga macem-macem. Papi bukan cuma hobi. Dia profesional. Cari makan dari situ."
"Hebat. Salut buat ayah kamu. Kamu sendiri suka motret nggak?"
"Mmm... Nggak terlalu sih. Teh Nday tuh yang nurunin hobi papi. Hasil potretnya bagus-bagus. Kata orang, artistik."
"Wah, boleh ah, kapan-kapan aku ngobrol sama kakak kamu."
"Ngobrol aja. Teh Nday orangnya asik kok, nyantai."
Percakapan kami selanjutnya berkisar pada masalah musik dan fotografi. Pengetahuannya tentang dua hal itu sangat luas. Diam-diam aku merasa senang karena berhasil menarik minatnya berbicara. Sehari-harinya ia diam seperti arca.

Percakapan kami yang ke-dua terjadi pada minggu pagi yang cerah di awal Januari lalu setelah di malam sebelumnya aku juga harus menginap di rumah itu untuk mempertajam ingatan kami tentang berbagai materi kuliah sebagai persiapan menghadapi ujian akhir semester yang akan dimulai seminggu setelahnya. Sehabis mandi pagi aku berjalan-jalan di halaman belakang yang luas dan ditumbuhi rerumputan hijau permai. Aku menemani Ratna yang ketika itu sedang memberi makan hewan-hewan peliharaanya. Ada belasan ekor ayam kate di sana, beberapa ekor itik peking, enam ekor angsa jenis besar dan beberapa ekor kelinci. Aku bercanda ria dengan Ratna sambil menggendong seekor kelinci berwarna putih yang lucu. Saat itu kulihat mas Nang sedang duduk di teras belakang sambil mengamati sesuatu di layar telepon selularnya. Ketika ia menengok ke arah kami, aku melambaikan tanganku ke arahnya, dan ia membalasnya.
"Mbak Nana, mas Nang mau nggak ya aku ajak ngobrol," kataku kepada Ratna. Ratna menoleh ke arah kakaknya sambil mengamati wajah pria itu dari jauh, untuk mencoba membaca suasana hatinya pagi itu.
"Coba aja gidah. Gue mo metik kembang dulu buat nyokap. Entar gue nyusul ke situ," jawab Ratna sambil membelai rambutku, sebelum menghilang ke taman bunga di samping rumah. Ratna memang gemar sekali membelai rambutku dan kadang juga menciumi pipiku. Katanya, wajahku seperti bidadari kecil. Mungkin ia lupa bahwa aku sudah duduk di semester lima di bangku kuliahku.
Aku menghampiri mas Nang perlahan-lahan sambil tetap menggendong kelinci Ratna.
"Lagi ngapain mas?" tanyaku sambil mengamati telepon genggamnya yang berlayar lebar.
"Lagi iseng aja ngisi status di facebook," jawabnya.
"Sini Ta, duduk," sambungnya, seraya mempersilakanku menempati kursi di sampingnya.
Aku duduk di kursi itu senyaman mungkin sambil memangku kelinci Ratna.
"Kamu suka binatang?" tanyanya kemudian.
"Suka," jawabku.
"Punya peliharaan di rumah?"
"Enggak. Halaman rumah Ita sempit jadi nggak bisa bebas melihara hewan. Tapi di rumah Ita yang di Bandung ada kandang burung besar. Isinya macem-macem burung berkicau. Ita juga punya kucing persia. Ada empat ekor."
"Kucing persia? Aku tau hewan itu. Binatang bagus."
"Iya. Ita suka bulunya yang panjang. Dia dari Iran ya mas?"
"Iran? Bukan. Dia dari Eropa, hasil persilangan kucing angora sama kucing roma. Dibudidaya di Perancis sama di Inggris."
"Ooo... Ita pikir dia dari Iran. Soalnya kan persia itu nama lain dari negara Iran."
"Jangan terkecoh sama penamaan hewan hasil budidaya Ta. Di Amerika juga ada kucing yang namanya kucing bali, tapi nggak ada unsur balinya sama sekali. Dia hasil persilangan kucing siam sama kucing lokal sana. Dikasih nama bali karena badannya ramping, terus gerakannya lemah gemulai kayak penari bali."
"Oo... Lucu ya mas."
"Hm-mm..."
Percakapan kami selanjutnya berkisar tentang ditemukannya kucing pertamakali di negara Sudan, tentang si cantik Nevertiti, permaisuri pujaan firaun yang pertamakali membudidaya kucing di Mesir, tentang penemuan ratusan mumi kucing di kota tua Bubaptis, tentang penghormatan bangsa Mesir terhadap hewan itu, tentang mitos mengenai dewi kucing bernama Bats yang dipercaya membawa kesuburan, dan lain-lain. Ia membuatku kagum dengan pengetahuannya yang luas. Diam-diam aku berangan-angan, jika aku secantik Nevertiti, apakah ia juga akan memujaku?

Percakapan kami yang terakhir terjadi tiga minggu setelahnya, ketika aku singgah di rumah itu setelah setengah-harian menemani Intan berenang kolam renang langganan kami di Puri Cinere. Ia sedang bersila di karpet ruang tengah sambil menonton televisi ketika kami datang. Intan langsung duduk di sampingnya dan mencium pipinya.
"Nonton apa mas?" tanya Intan.
"Ini, kangen sama film Jurrasic Park yang pertama," jawabnya sambil tetap menatap layar televisi.
"Ada Ita nih," kata Intan selanjutnya sebelum berdiri dan masuk ke kamarnya sambil membawa belanjaan yang sempat kami beli di mall Cinere. Pria itu menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Apa kabar Ta?" sapanya.
"Baik, mas Nang apa kabar?"
"Baik juga. Gimana tadi berenangnya? Having so much fun di kolam?"
"Ita nggak ikutan berenang mas, cuma ngobrol sama temen yang kebetulan ketemu di sana."
"Kenapa nggak ikut berenang?"
"Ita lagi menjelang mens. Kalo ikutan berenang nanti takutnya tau-tau dia dateng."
"Mm, gitu," katanya sambil mengangguk kecil, "UAS-nya udah kelar kan?" sambungya.
"Udah mas. Sekarang udah masuk masa libur pendek."
"Udah punya rencana buat ngisi liburan?"
"Udah mas, Ita mo pulang ke Bandung, kangen-kangenan sama mami-papi, terus nginep di rumah nenek di Lembang, di desa kelahiran Ita."
"Oh, kamu kelahiran Lembang ya. Aku pernah berapa kali juga ke sana tapi nggak pernah sempet jalan-jalan karena sibuk tugas kerja. Enak ya, di sana, sejuk."
"Enak banget mas. Udaranya masih bersih. Ita suka banget di sana. Setiap nginep Ita pasti nyempetin makan tahu tauhid kesukaan Ita. Enak banget tahunya, gurih, lembut. Terus Ita nyamperin temen-temen Ita waktu kecil dulu. Nanti kalo udah siangan dikit Ita mampir deh beli susu murni sama yoghurt."
Ia mengangguk-angguk, "Luas ya Ta, Lembang itu?" tanyanya kemudian.
"Mm.. Ada sih kalo seratus kilometer persegi aja. Sebenernya Lembang itu masih masuk kabupaten Bandung. Dia itu daerah kecamatan."
"Halaman rumah kamu luas di sana?"
"Luas mas. Nenek Ita punya kebun yang mirip hutan kecil. Kalo kapan-kapan mas main ke sana, mas bisa jalan-jalan naik kuda. Om Ita punya kuda bagus dari australi. Ada juga kuda-kuda sandel dari Nusa Tenggara buat dipake sama keponakan Ita jalan-jalan."
"Oh ya? Aku belum pernah naik kuda. Kamu sering ya?"
"Enggak juga. Ita masih takut duduk lama-lama di atas kuda. Teh Nday tuh yang hobi naik kuda. Kadang suka ngebut ajrut-ajrutan. Ita suka ngeri ngelihatnya."
Ia tersenyum memandangiku sehingga akupun ikut tersenyum. Senyum itu cukup menghibur di tengah ketidak-nyamananku pada masa pre menstruasi itu.
"Di Jakarta kamu tinggal berdua aja sama Nandya?" tanyanya kemudian.
"Iya. Eh, ada sih bibi yang suka masak sama nyuci-seterika. Tapi dia pulang hari, nggak pernah nginep."
"Daerah rumah kamu aman?"
"Aman mas. Rumah Ita kebetulan di hook yang deket sama pos sekuriti. Berapa kali Ita ditinggal berhari-hari sama teh Nday karena tugas kantor, nggak pernah ada masalah."
"Jarak umur kalian kayaknya agak jauh ya?"
"Jauh mas. Lima belas tahun. Makanya teh Nday sayang banget sama Ita."
Ia mengamatiku dengan seksama. Entah apa yang ada dalam fikirannya ketika itu. Tatapan matanya membuatku tergelitik perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya jika aku berhadapan dengan seorang pria.
Akhirnya kami berdua jatuh tertidur di depan televisi. Dalam tidur itu aku bermimpi bercengkerama dengannya di kebun nenekku di Lembang. Aku merasa amat bahagia. Sayang kebahagiaanku itu tiba-tiba terganggu oleh kehadiran sepasang velociraptor, binatang mengerikan yang pernah kulihat dalam film Jurrasic Park.

Aku tengah mengamati sepasang ikan arwana besar berwarna merah yang ada di dalam akuarium itu ketika tiba-tiba aku berubah fikiran. Aku mengurungkan niatku untuk menemuinya di depan deretan kamar itu. Aku tersadar, jika ia berada di tingkap, itu tandanya ia sedang ingin menyendiri. Tak seharusnya aku mengganggu kesenangannya. Aku segera berlari masuk kembali ke kamar Intan.


Intan
Ratna mengikutiku masuk ke dalam kamarku. Kami mendapati Narita sedang duduk bersila di depan laptop miliknya. Ia teperangah melihat kami seolah baru terbangun dari sebuah lamunan. Ratna langsung memelukinya seolah ia sebuah boneka besar.
"Auw mbak Nana, auw..."
"Gue gemes banget deh sama lo Ta, asli."
"Iya, tapi ini kaki aku kebengkek..."
"Haha... Sorry chayang."
Aku tak bisa menyalahkan Ratna yang teramat sayang kepada temanku itu. Narita, tak pelak lagi memang memiliki kecantikan yang luar biasa. Kecantikan yang dipadu dengan kepolosan, kejujuran, kecerdasan dan kebaikan hati itu diakui oleh banyak orang telah melahirkan sebuah inner beauty yang meruntuhkan hati setiap pria di manapun ia berada. Ia, secara tak disadarinya, telah menjadi primadona di fakultas, dan barangkali juga di seantero universitas kami. Tak seorangpun, dari mulai dekan hingga petugas parkir yang tak tergoda untuk menyapa atau sekedar memanggil namanya bila berpapasan dengannya. Dan ia, dengan kebersahajaannya selalu menjawab semua sapaan itu dengan spontan. Jika ia duduk di kelas semua mahasiswa ingin mencuri kesempatan untuk dapat duduk di sampingnya. Jika ia duduk di kantin fakultas, mejanya akan segera menjadi ramai. Banyak mahasiswa dari fakultas lain dan bahkan dari perguruan tinggi lain yang ingin ikut bercengkerama dengannya. Namun tak sedikitpun ia tertarik untuk berkencan dengan salah seorang dari mereka, setampan apapun mereka itu. Ia lebih senang bepergian denganku atau dengan teman-teman dari kelompok belajar kami yang hanya terbatas enam orang saja.
"Udah sampe di mana Ta?" tanyaku kepadanya setelah Ratna meninggalkan kami untuk pergi ke kamar mandi.
"Gue baru kelar gabung-gabungin kerjaan anak-anak. Kayaknya gaya bahasanya semua udah sama. Jadi kita gak usah kebanyakan ngedit."
"Gabung-gabungin sama ngedit tulisan sih gampang Ta. Tabelnya itu yang penting."
"Iya, tau Tan."
"Udah?"
"Belom."
"Kok belom? Biasanya lo paling semangat ngerjain tabel."
"Iya, tapi belom."
"Ada masalah sama datanya?"
"Enggak."
"Terus kenapa belom?"
"Mm... Tadi gue lagi kena males."
"Ah, baru ini gue denger lo kena males. Biasanya lo nggak pernah kena males."
"Bawel ah Tan! Yaudah ni lo terusin ngeditnya. Gue bikinin tabelnya di laptop elo. Mana sini laptopnya."
"Entar aja ah Ta, gue laper nih. Kita makan dulu aja yok? Gue beliin kwetiau rebus enak tuh."
"Aduh, mau banget sih, tapi..."
"Tapi apa?"
Ia terlihat bimbang sejenak, "Enggak, nggak pa-pa," jawabnya.
"Ya udah ayo."
Ia mengikutiku ke ruang makan sambil memegangi kedua pundakku seperti anak yang sedang bermain ular naga.


Ratna
Aku menuju ruang makan setelah selesai menikmati curahan air yang sejuk dan segar dari shower di kamar mandi kami dan mengganti baju kerjaku dengan celana pendek dan T-shirt yang dingin dan lembut. Kulihat ibuku sedang mengetuk pintu kamar mas Nang untuk mengajaknya bergabung bersama kami. Aku mendapati Intan dan Narita telah duduk di meja makan sambil mengamati layar telepon genggam milik Narita.
"Lagi pada nontonin apa sih?" tanyaku.
"Bokep nih mbak. Koleksinya Ita" jawab Intan. Aku tertawa. Ia pasti bergurau karena Narita paling anti pornografi.
Narita membelalakkan matanya lebar-lebar ke arah Intan, lalu ke arahku.
"Iiihh... Apaan sih? Bohong mbak Nana, nggak ada yang begitu-begituan di hape aku. Rese lo Tan! Sini hape gue!" katanya sambil merebut pesawat selular itu.
"Lah itu, banyak tuh video sama gambar telanjangnya di situ." kata Intan lagi.
"Maana? Ini? Ya iyalah telanjang! Masa gorila disuruh pake celana? Blo'on maneh teh!"
"Gorila?" tanyaku heran.
"Iya mbak Nana, ini foto-foto sama film gorila di pusat primata Ragunan, teh Nday yang ngambil pake hape aku," jawabnya sambil melirik tajam ke arah Intan, "Perasaan, elo sendiri deh yang pernah bilang fitnah itu lebih kejam daripada kolesterol," sambungnya kepada Intan.
"Tapi gorilanya banyak yang kelihatan pantatnya kan Ta. Gorilanya jantan lagi." kata Intan.
"Terus kenapa? Emangnya lo terangsang apa, liat pantat gorila?" tanya Narita.
"Iya."
"Haha... Itu mah emang elo aja yang ada kelainan. Amit-amit! Dasar gelo! Gue mah, mikir aja enggak! Jijay tau."
"Jijay kok lo simpen terus?"
"Tau ah Tan! Stress gue ngomong sama elo," kata Narita sambil membuang muka. Aku tak dapat menahan tawa mendengar obrolan mereka berdua.
Mas Nang dan ibuku datang menghampiri kami. Mas Nang menarik bangku di sebelah kananku, sementara ibuku duduk di sebelah kiri Narita yang berseberangan denganku.
"Mama mau duduk di sini ah, di sebelah anak cantik," kata ibuku sambil menoleh ke arah Narita, "Ikut makan ya sayang?" sambungnya.
"Iya tante, makasih," jawab Narita dengan senyumnya yang manis.
"Ita udah bukan anak-anak lagi, tau ma, udah dewasa, udah bisa bikin anak," kata Intan.
Narita menoleh seketika ke arahnya sambil membelalakkan mata.
"Hus, jangan kasar ah Yang. Ita kan bidadari kecil mama, masa disuruh bikin anak," kata ibuku sambil tertawa. Narita diam seribu basa sambil menatap langit-langit.
"Tuh, dia lagi ngebayangin cowoknya tuh," kata Intan. Narita memasang wajah acuh tak acuh menanggapi pernyataan itu.
"Oh, udah punya pacar toh. Aduuh, senengnya dengernya, kenapa nggak dikenalin sama tante?" tanya ibuku. Narita terperanjat.
"Siapa yang... Eh, enggak kok tante, Ita belom punya pacar. Ngaco deh lo Tan." kata Narita.
"Kemaren, katanya lo pengen pedekate sama Markodil," jawab Intan.
"Markodil? Aduh, lucu sekalii becandanya ya Intan!"
"Markodil ki sopo?" tanya ibuku.
"Preman mabok di depan kompleks rumahnya yang suka malakin anak-anak kecil," jawab Intan sambil tertawa.
"Ah, ya enggak lah. Kalo bisa cari yang lebih nggenah dong. Iya kan, cah ayu," kata ibuku kepada Narita.
"Ita cuma kepengen orang itu jadi responden Ita kok tante, bukan buat jadi pacar... Teung-teuingan emang si Intan, Dasar jayus, lebay!" jawab Narita sambil menggerutu ke arah Intan.
"Jayus karo Lebai ki sopo meneh?" tanya ibuku. Narita menoleh ke arahnya dengan wajah bingung.


Intan
Ada yang aneh dengan cara makan Narita. Ia tampak tak bebas mengunyah. Sepertinya ada salah satu bagian di dalam mulutnya yang terasa tak nyaman jika terkena makanan.
"Lo lagi sariawan ya Ta?" tanyaku kepadanya. Ia berfikir sejenak, lalu menggeleng.
"Kok makannya kayak nggak nikmat gitu?" tanyaku lagi.
"Mmm... Ini nih, lidah gue rasanya getir campur pedih dikit," jawabnya.
"Kenapa? Perasaan, tadi nggak kenapa-napa? Apa kwetiaunya kepedesan?" tanya Ratna.
Narita menggeleng sambil mengerling sejenak ke arah ibuku.
"Aku tadi nyicipin moka krim bikinan tante mbak, tapi kayaknya masih terlalu panas. Lidah aku kepanasan," jawabnya.
"Lho! Tadi kan tante udah bilang, minumnya entar-entaran aja pas udah rada angetan?" kata ibuku dengan wajah terperanjat.
"Mmm... Iya tante, tapi Ita tadi nggak tahan pengen nyicipin," jawabnya sambil tertawa dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Emang tadi ngasihnya masih panas banget ya mam?" tanyaku kepada ibuku.
"Waktu mama tuang sih emang masih mendidih," jawab ibuku.
"Bujubunyet! Ya iyalah Ta, air mendidih lo sosot begitu aja, untung nggak melepuh tuh bibir lo," kataku sambil tertawa terbahak-bahak.
"Ssh! Jangan ketawa dong Tan! Entar yang lain pada ikut ketawa!" desah Narita di dekat telingaku. Terlambat. Semua orang di meja makan ikut tertawa. Mas Nang pun tersenyum lebar. Ini menyenangkan, karena di tahun-tahun terakhir ini sangat jarang ia bisa tersenyum selebar itu.

Kamis, 29 Oktober 2009

BAB I - Jiwa Di Balik Dinding

Intan
Sabtu, 11 April 2009, jam 20:30 Akhirnya sampai juga kami di depan gang menuju rumahku. Rutschel memperlambat laju mobilnya lalu mulai memutar setirnya dengan elegan. Aku memandangi wajahnya yang telah kembali segar. Dua jam sebelumnya wajah itu tampak begitu mengerikan, merah padam dan seolah bengkak di sana-sini. Sesuai dugaanku, ia terserang alergi. Ia menoleh kepadaku dan tersenyum. Senyum itulah yang dulu telah meruntuhkan hatiku. Senyum yang polos dan jujur.

Rutschel Bialokursky adalah pria berkewarganegaraan Polandia yang telah beberapa tahun ini menjadi expatriate atau tenaga ahli asing di Indonesia. Aku bertemu pertama kali dengannya tiga tahun yang lalu, ketika aku singgah di kantor mas Nang untuk membawakan PDA miliknya yang tertinggal. Ketika itu mas Nang masih menduduki jabatan manajer di sebuah perusahaan perbankan raksasa multinasional yang berlokasi di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan jam makan siang. Mas Nang mengajakku makan di sebuah restoran terkenal yang menyuguhkan citarasa yang khas dari Afrika Selatan dalam penyajian daging sapinya. Amat lezat. Kami berpapasan dengannya di depan eskalator.

Umurku memang masih muda, dan ketika peristiwa itu terjadi aku baru saja masuk ke perguran tinggi. Namun aku telah terbiasa bergaul dan berbincang dengan orang-orang dari mancanegara di tengah kota metropolitan ini. Kami bertemu dan berkenalan di mana saja; di pusat perbelanjaan, di restoran, di cafe, di diskotik, di dalam sebuah seminar, di lobi-lobi hotel, gedung perkantoran, dan lain-lain. Oleh karena itulah, ketika mas Nang bertegur sapa dengannya aku tidak terlalu menaruh perhatian padanya. Aku lebih memperhatikan sms yang baru saja masuk ke handset di tanganku.
"Your girl friend?" Sempat kudengar ia bertanya kepada mas Nang.
"My sister," jawab mas Nang, sambil menggamit tanganku untuk memperkenalkan kami.
"Intan, this is Rutschel. Rutschel, Intan," katanya kemudian.
Pria itu menjabat tanganku dengan hangat.
"Hello. Pleased to meet you," ujarnya berbasa-basi. Aku menganggukkan kepalaku.
"Pleased to meet you too," balasku.
"Have you got your lunch?" Mas Nang bertanya kepadanya, apakah ia sudah makan siang. Ia menggelengkan kepalanya.
"Not yet. The biding is still running. I have to go back inside and stay until everything is over. It will takes a few more minutes. I think," katanya sambil menunjuk sebuah pintu ruang rapat yang tertutup rapat di samping eskalator itu.
"We will have a table in Black Steer restaurant if you'd like to join," kata mas Nang menawarkan undangannya untuk santap siang bersama kami.
"I will really love to." Ia mengiyakan sambil tersenyum padaku. Aku tercekat. Senyumnya manis sekali.
"Then come. You'll be very welcome," kata mas Nang, dan aku setuju dengan pernyatan itu.

Selama setengah jam berbincang-bincang di restoran itu berkali-kali matanya menatap dengan hangat ke arah mataku. Dari pupil matanya, dari ekspresi wajah dan dari gestur tubuhnya aku yakin bahwa ia menyukaiku. Sebenarnya aku pun menyukainya. Ingin aku mengisyaratkan hal itu kepadanya. Tapi seperti biasa, aku tidak menuruti dorongan hati semacam itu. Aku banyak mendapat pelajaran dari Berliana, kakakku, bahwa wanita adalah makhluk yang paling rawan terhadap pelecehan seksual dalam berbagai kelas, jenis dan bentuk.

Aku menerima ajakannya untuk sebuah makan malam yang indah setelah ia melakukan proses pendekatan yang panjang dan mungkin juga cukup membosankan selama berbulan-bulan. Ketika pada suatu sore yang cerah di sebuah pusat perbeanjaan aku menyatakan bahwa aku menerimanya menjadi pendampingku, ia melompat ke udara dan berteriak seperti orang gila. Dalam lubuk hatiku, aku amat tersanjung dengan segala perjuangan yang hampir membuatnya putus asa hanya untuk mendapatkan seorang Intan.

Ia menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang rumahku. Seperti biasa, kami berpelukan dan berciuman sebelum berpisah. Aku memandangi mobilnya yang bergerak menjauh sambil melambaikan tangan. Rutschel tinggal di jalan yang sama denganku, di sebuah town housing yang nyaman. Ada 30 rumah mewah berukuran sedang di dalam kompleks yang dikelilingi tembok tinggi itu. Di tengahnya terdapat sebuah lapangan tenis, sebuah lapangan voli, sebuah lapangan basket, dua buah lapangan badminton, sebuah gedung gymnasium, dan sebuah kolam renang yang cukup besar. Ia tinggal bersama adiknya Linda yang telah menjadi salah satu sahabat karibku.

Kudengar bunyi gembok pintu gerbang rumah kami dibuka. Pada saat membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah, aku dikejutkan oleh sesosok tubuh yang rupanya sejak lama berdiri mematung di belakangku. Ia adalah Tuni, salah satu pembantu rumah tanggaku.
"Sejak kapan kamu berdiri di situ?" tanyaku dengan nada heran.
"Dari tadi mbak," jawabnya.
"Waktu mobil dateng tadi kamu udah ada?"
"Udah mbak, nyender di pintu. Mbak Ayang aja sama om Ransel yang gak lihat."
"Rasyel..." kataku mengoreksi pelafalannya terhadap nama Rutschel, "Terus, kamu lihat tadi aku ngapain di dalem mobil sama dia?"
"Dikiiit..." jawabnya sambil tertawa. Mau tak mau aku pun ikut tertawa. Tuni agak sedikit terbelakang. Tapi ia sangat rajin dan jujur.
"Nih, bawa tasnya ke dalem. Kasih ke ibu sepuh. Ini semua isinya kwetiau rebus. Ada buat kamu juga sama Minah. Ambil yang mana aja. Semuanya sama," kataku sambil menyodorkan sebuah tas plastik besar kepadanya.
"Asiiik, Tuni dapet kwetiau rebus. Makasih ya mbak! Mbak Ayang baik banget deh sama Tuni. Baik, cakep, pinter, makanya Tuni sayang banget sama mbak," serunya dengan gembira sambil memandangi tas itu.
"Iyaaaah, udah bawa masuk gidah."

Minah membuka pintu gerbang rumah kami lebar-lebar karena kebetulan Ratna telah tiba dengan mobilnya.

Ratna
Sabtu, 11 April 2009, jam 20:00. Airin, gadis kecil yang cantik itu mengantarku berjalan menuju pintu regol. Aku membelai rambutnya sebelum masuk ke dalam mobil yang memang tak pernah kuparkir di halaman rumah ini.
"Tante Na pulang dulu ya Airin, besok lusa, pulang kantor tante mampir lagi ke sini," kataku berpamitan sambil mencium pipinya yang lembut.
"Iya tante. Bener besok mampir lagi ya tante," jawabnya.
"Hm mh. Daahh Airin..."
"Dahh tante Na..."
Bisanya ibunyalah yang melepasku pergi. Kali ini tak kuijinkan karena ia baru saja melahirkan anaknya yang ke dua yaitu adik Airin. Untuk alasan itu juga, saat ini aku berada di sini; menjenguk ia dan bayinya. Mereka baru pulang dari rumah sakit bersalin.

Larina Santi Gading atau Rina, ibu Airin, adalah calon kakak iparku. Ia kakak kandung Eri. Semenjak Eri berangkat ke Samarinda untuk mengemban tugas kantornya beberapa bulan yang lalu aku rajin mengunjunginya. Terlebih lagi di saat ia sedang hamil. Kebetulan rumahnya berada di routeku sehari-hari jika aku berangkat atau pulang kerja. Suaminya, Armada Gading, adalah pegawai negeri sipil golongan empat. Saat itu ia memangku jabatan setaraf eselon dua sebagai Direktur di salah satu Direktorat di Departemen Keuangan, Jakarta. Keluarga ini sudah menganggap diriku sebagai bagian dari keluarganya meskipun aku dan Eri belum pernah membahas masalah pernikahan kami dengan mereka.

Jam 20:30. Masih sempat kulihat Range Rover milik Rutschel, pacar adikku Intan, bergerak menjauh dari depan rumahku. Mobil itu selalu membangkitkan ingatanku akan mobil mas Nang yang satu seri lebih tua darinya. Mobil yang dulu pernah menjadi kebanggaan kakakku dan sering kutumpangi jika ia mengantarku ke suatu tempat sebelum aku sendiri mampu membeli mobil ini.

Di masa itu mas Nang menjadi tumpuan hidup kami. Karirnya yang cemerlang di perusahaan perbankan internasional pernah mengangkat derajat kehidupan kami yang nyaris terpuruk akibat kesulitan ekonomi di tengah resesi yang tinggi. Kini pahlawan kami itu sedang berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Semenjak peristiwa mengerikan yang menimpanya dua tahun yang lalu ia menjadi sosok yang amat pendiam, tidak lagi hangat, tidak lagi ceria. Kami bersyukur karena kami masih berhasil menyelamatkannya dari kejatuhan yang lebih dalam lagi. Ia pernah sakit. Sakit yang teramat parah. Baik secara fisik maupun psikis.

Meskipun kini ia bagaikan mayat hidup, ia tetaplah kami anggap sebagai pahlawan kami sepanjang masa. Sungguh sayang, jiwanya yang dahulu begitu hidup kini telah jauh terbenam di dalam kesendiriannya yang sunyi. Ia yang dahulu begitu jenius, jujur dan apa adanya. Ia yang menjadi pujaan hati banyak orang, kini seakan-akan telah membangun barikade dan dinding yang teramat tinggi untuk melindungi jiwanya dari dunia luar. Sering aku duduk sendiri di pinggir kolam angsa kesayangannya dulu, untuk mengenang masa-masa indah di kala ia masih menjadi pujaan hati segenap makhluk yang ada di sekelilingnya.

Aku membunyikan klakson mobilku untuk memberi isyarat akan kedatanganku kepada Intan, Tuni dan Minah yang kulihat tengah bercakap-cakap di depan pintu gerbang rumah kami. Minah membuka gerbang itu lebar-lebar agar aku bisa langsung memasukkan mobilku. Aku melewati mereka sambil membuka kaca jendela.
"Makasiih..." seruku sebelum memarkir mobilku di belakang mobil Intan. Mas Nang telah membangun sebuah garasi yang amat besar yang mampu menampung sedikitnya enam mobil meskipun di kala itu di rumah ini hanya terdapat sebuah mobil, yaitu BMW 520i keluaran tahun 1990 bekas kepunyaan ayahku dulu. Bahkan dikala itu pun ia telah meramalkan kesuksesannya. Kesuksesan yang akhirnya hancur di tangan seorang wanita; kekasihnya sendiri, calon isterinya yang ternyata seorang perempuan durjana.

"Jadi ke rumah Rina tadi mbak?" kudengar Intan bertanya di belakangku.
"Jadi dong, " jawabku sambil merangkulnya untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping, pintu yang menghubungkan garasi itu dengan koridor menuju ruang tengah rumah kami.
"Kayaknya gue liat mobil si Kenu tadi. Dari mana?" tanyaku kemudian. Kenu adalah julukan yang kuberikan kepada Rutschel karena dari beberapa sudut, wajahnya amat mirip dengan Keanu Reeves, bintang film Hollywood
"Dari rumah sakit. Tadi dia kena alergi," jawabnya.
"Masa?"
"Ho-oh!"
"Sama elo?"
"Ya iyalah! Masa sama nyokap?"
"Cuma ke rumah sakit doang?"
"Emang kemana lagi?"
"Kali aja nyangkut di mana dulu gitu. Nyempet-nyempetin."
"Mmakksutt lookh...?
"Mesra-mesra'an. Kan malem minggu."
"Mesra-mesra'an... Emangnya elo. Kalo elo sih gue percaya. Bumi lagi kiamat juga pasti masih nyempet-nyempetin mesra-mesraan sama si Eri. Tuh, gue cuma mampir beli makanan buat entar malem soalnya tadi sore Minah gak masak gara-gara kompornya ngadat."
"Buset, sedih amat, pake segala ada kompor ngadat."
"Namanya juga alat elektronik, ada waktunya ngadat."
"Emang kompor barang elektronik?"
"Lah, kan kompornya, kompor listrik."
"Oh, iya, ya. Suka lupa. Rasanya masih pake kopor minyak aja kayak jaman dulu."
"Laaahh! Kemane aje ente?"
Aku paling menyukai ekspresi wajahnya di saat-saat seperti itu.

Intan adalah makhluk kesayangan di rumah ini. Ketika kecil dulu wajahnya amat lucu. Tak seorangpun yang tak gemas melihat wajahnya. Kini ia telah menjadi gadis yang sangat cantik. Bahkan sejak ia masih duduk di bangku SMP, banyak tawaran baginya untuk terjun ke layar kaca baik sebagai bintang iklan maupun sebagai bintang sinetron. Tapi ia tak pernah bersedia menjalani casting atau audisi apapun. Usia kami terpaut dua tahun. Sejak kecil dulu kami selalu kompak, terutama di saat harus menghadapi Berliana yang dalam pandangan masa anak-anak kami dulu begitu nyinyir. Beberapa kali kami berhasil membuatnya menangis. Mas Nanglah yang biasanya mendamaikan kami dengan menyuruh kami minta maaf kepada Berliana.

Mas Nang... Yang kini begitu jauh di awang-awang. Masih besar harapanku agar ia 'turun' kembali ke dunia kami...

(Bersambung ke BAB II - Secercah Sinar Bidadari)

PENDAHULUAN - Dari Kamar Intan

Narita
Hampir dua jam aku duduk bersila di depan laptop yang kubuka di atas karpet di tengah kamar Intan. Sudah berkali-kali aku merubah posisi duduk supaya kakiku tidak kesemutan. Si pemilik kamar sendiri belum juga muncul, padahal sore itu kami berdua bermaksud mengerjakan dua tugas kelompok yang harus dikumpulkan pada hari Selasa. Begitulah, di saat kakakku Nandya yang bersedia mengantarku baru saja membelokkan mobilnya ke jalan besar, Intan menghubungiku melalui pesawat telepon selularku lalu berbicara tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menyela; "Halo Ta, Ta sorry banget nih gue kayaknya harus nganterin cowok gue dulu ke rumah sakit. Tapi lo langsung aja ke rumah gue ya? Lo tungguin gue di kamar. Nyokap udah tau kok kalo lo mo dateng. Data anak-anak ada di meja. Ya Ta ya? Ga pa-pa kan Ta? Gak lama kok, paling jam delapan gue udah balik. Oke say? Udah ya, gue mo cabut dulu. Lo ti-ti-di-je ya, salam sama teh Ndai. Oke? Dah cintaa... Mmmuaachhh." Aku cuma berharap ia tidak lupa waktu dan lupa diri lalu membiarkanku bekerja sendirian di kamarnya sampai larut malam.

Sebuah ketukan ganda terdengar lembut di pintu kamar. Jelas bukan Intan. Jika ia yang datang pintu itu pasti langsung terbuka lebar-lebar. Mungkin tante Marga - begitulah aku memanggil ibunda Intan - yang mengetuk pintu itu.
Tante Marga selalu menyempatkan diri mengunjungiku jika aku menginap di kamar Intan. Ia wanita yang ramah dan baik hati. Aku suka padanya.
Benar saja, di depan pintu itu ia berdiri dengan senyumnya yang khas. Kedua tangannya menggenggam sebuah nampan plastik. Di atasnya tampak sebuah teko yang terbuat dari kaca berisi cairan panas berwarna kecoklatan, sebuah mug keramik, dan sepasang cangkir. Ia menyodorkan nampan itu kepadaku.
"Nih sayang, tante bawain moka krim bikinan tante buat nemenin kamu begadang nanti malem. Enak deh, tante campurin jahe sama bubuk sinamon. Tapi jangan diminum sekarang. Masih terlalu panas. Nanti aja minumnya pas lagi anget-anget," katanya. Seharusnya aku menuruti nasehatnya ketika itu supaya keesokan harinya lidahku tidak terasa perih sepanjang hari.
"Wah, makasih banyak tante," kataku sambil menerima nampan tersebut dengan sukacita. Aku tak segera beranjak membawa nampan itu masuk ke dalam kamar karena aku tau mug di atas nampan itu bukan untuk kami. Dan benarlah, "Eh, sebentar sayang, mug itu punya tante," katanya sambil meraih mug tersebut dari atas nampan yang kupegang. Aroma yang khas tercium mengiringi kepulan uap yang keluar dari lubang kecil yang terdapat pada tutupnya. Aroma kopi yang harum. Aku mengernyitkan alis. Sepengetahuanku tante Marga tidak suka minum kopi.
"Sebenernya ini buat si Nang," katanya.

Nang adalah nama kecil dari Seto Sadino Koeri, kakak Intan yang paling tua. Aku biasa memanggilnya mas Nang. Ia anak sulung dari empat bersaudara di keluarga ini dan merupakan lelaki satu-satunya. Ayah Intan, Sadino Koeri meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Singapura ketika Intan masih berumur empat tahun. Semenjak itu isterinya, Margarini Koeri atau tante Marga hidup menjanda tanpa pernah menikah lagi.

Terpaut usia dua tahun di bawah Nang adalah adiknya, Berliana Resti Koeri atau Berli. Ia seorang wanita anggun yang mempesona. Namanya berganti menjadi Berliana Reksowiryo setelah ia menikah dengan seorang pengusaha muda tampan bernama Harkrisno Reksowiryo. Kris atau mas Kris, begitulah kami biasa memanggilnya. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat lucu bernama Aksel. Aksel menjadi salah seorang bintang sinetron cilik.

Lima tahun di bawah Berli adalah Ratna Deliani Koeri yang biasa dipanggil Nana. Ia seorang gadis tomboi bermata tajam yang cantik jelita. Menurutku Ratna wanita tercantik di rumah ini. Ia sangat akrab denganku. Secara kebetulan, kekasihnya, Eri Pramudya atau Iyek, masih bersepupu dekat denganku.

Dua tahun di bawah Nana adalah si bungsi Intan Deviana Koeri. Dialah maskot kesayangan keluarga ini. Semua orang di rumah ini memanggilnya Ayang. Aku sendiri tetap memanggilnya Intan. Ia gadis yang cantik, ceria, cerdas, mandiri, dan amat pandai bergaul. Dia menjadi sahabat terbaikku sejauh ini, walau terkadang, jika sifat isengnya kambuh, ia sengaja membuatku kesal. Hampir setiap hari ia menjemput dan mengantarku pulang dengan mobil kesayangannya. Kami menempuh pendidikan di fakultas yang sama, di sebuah universitas ternama yang propertinya meliputi area yang amat luas di kawasan Depok, Bogor.

Aku kembali duduk menghadap laptop sambil memandangi jendela kaca berbingkai putih di kamar Intan. Jendela itu selalu menjadi tambatan mataku jika aku sedang berfikir atau melamun. Sinar lampu malam memantul tajam di setiap siku di bingkainya. Langit malam pun terlihat dari sana. Sepertinya hujan akan segera turun karena kulihat angkasa telah dipenuhi mendung kelabu berselaput jingga. Warna jingga itu berasal dari cahaya kota yang terpantul kembali oleh mendung tebal yang menggantung rendah.

Dua berkas petir menyambar bersilang di bawah gumpalan awan. Sejenak jantungku serasa berhenti berdetak. Bukan karena ledakan halilintar atau karena cahaya kilat yang menyilaukan mata itu, melainkan karena dalam kilatan cahaya itu mataku menangkap sesuatu di atas sana. Di sana, di ujung belakang rumah Intan yang bersiku, sesosok tubuh berdiri tegak di atas tingkap. Jika aku percaya takhayul, pasti aku mengiranya hantu. Tapi ayah dan kakakku selalu mengajariku untuk tidak takut kepada hantu karena hantu itu cuma ada dalam fikiran manusia dan hanya menjelma karena kesalahan persepsi akibat halusinasi, ilusi atau delusi. Sosok di atas tingkap itu pasti manusia, dan karena rumah ini didisain anti maling, manusia itu tak lain tak bukan pasti mas Nang yang konon memang sering duduk menyendiri di tingkap itu.

(bersambung ke Bab I - Jiwa Di Balik Dinding)