Kamis, 29 Oktober 2009

PENDAHULUAN - Dari Kamar Intan

Narita
Hampir dua jam aku duduk bersila di depan laptop yang kubuka di atas karpet di tengah kamar Intan. Sudah berkali-kali aku merubah posisi duduk supaya kakiku tidak kesemutan. Si pemilik kamar sendiri belum juga muncul, padahal sore itu kami berdua bermaksud mengerjakan dua tugas kelompok yang harus dikumpulkan pada hari Selasa. Begitulah, di saat kakakku Nandya yang bersedia mengantarku baru saja membelokkan mobilnya ke jalan besar, Intan menghubungiku melalui pesawat telepon selularku lalu berbicara tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menyela; "Halo Ta, Ta sorry banget nih gue kayaknya harus nganterin cowok gue dulu ke rumah sakit. Tapi lo langsung aja ke rumah gue ya? Lo tungguin gue di kamar. Nyokap udah tau kok kalo lo mo dateng. Data anak-anak ada di meja. Ya Ta ya? Ga pa-pa kan Ta? Gak lama kok, paling jam delapan gue udah balik. Oke say? Udah ya, gue mo cabut dulu. Lo ti-ti-di-je ya, salam sama teh Ndai. Oke? Dah cintaa... Mmmuaachhh." Aku cuma berharap ia tidak lupa waktu dan lupa diri lalu membiarkanku bekerja sendirian di kamarnya sampai larut malam.

Sebuah ketukan ganda terdengar lembut di pintu kamar. Jelas bukan Intan. Jika ia yang datang pintu itu pasti langsung terbuka lebar-lebar. Mungkin tante Marga - begitulah aku memanggil ibunda Intan - yang mengetuk pintu itu.
Tante Marga selalu menyempatkan diri mengunjungiku jika aku menginap di kamar Intan. Ia wanita yang ramah dan baik hati. Aku suka padanya.
Benar saja, di depan pintu itu ia berdiri dengan senyumnya yang khas. Kedua tangannya menggenggam sebuah nampan plastik. Di atasnya tampak sebuah teko yang terbuat dari kaca berisi cairan panas berwarna kecoklatan, sebuah mug keramik, dan sepasang cangkir. Ia menyodorkan nampan itu kepadaku.
"Nih sayang, tante bawain moka krim bikinan tante buat nemenin kamu begadang nanti malem. Enak deh, tante campurin jahe sama bubuk sinamon. Tapi jangan diminum sekarang. Masih terlalu panas. Nanti aja minumnya pas lagi anget-anget," katanya. Seharusnya aku menuruti nasehatnya ketika itu supaya keesokan harinya lidahku tidak terasa perih sepanjang hari.
"Wah, makasih banyak tante," kataku sambil menerima nampan tersebut dengan sukacita. Aku tak segera beranjak membawa nampan itu masuk ke dalam kamar karena aku tau mug di atas nampan itu bukan untuk kami. Dan benarlah, "Eh, sebentar sayang, mug itu punya tante," katanya sambil meraih mug tersebut dari atas nampan yang kupegang. Aroma yang khas tercium mengiringi kepulan uap yang keluar dari lubang kecil yang terdapat pada tutupnya. Aroma kopi yang harum. Aku mengernyitkan alis. Sepengetahuanku tante Marga tidak suka minum kopi.
"Sebenernya ini buat si Nang," katanya.

Nang adalah nama kecil dari Seto Sadino Koeri, kakak Intan yang paling tua. Aku biasa memanggilnya mas Nang. Ia anak sulung dari empat bersaudara di keluarga ini dan merupakan lelaki satu-satunya. Ayah Intan, Sadino Koeri meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Singapura ketika Intan masih berumur empat tahun. Semenjak itu isterinya, Margarini Koeri atau tante Marga hidup menjanda tanpa pernah menikah lagi.

Terpaut usia dua tahun di bawah Nang adalah adiknya, Berliana Resti Koeri atau Berli. Ia seorang wanita anggun yang mempesona. Namanya berganti menjadi Berliana Reksowiryo setelah ia menikah dengan seorang pengusaha muda tampan bernama Harkrisno Reksowiryo. Kris atau mas Kris, begitulah kami biasa memanggilnya. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat lucu bernama Aksel. Aksel menjadi salah seorang bintang sinetron cilik.

Lima tahun di bawah Berli adalah Ratna Deliani Koeri yang biasa dipanggil Nana. Ia seorang gadis tomboi bermata tajam yang cantik jelita. Menurutku Ratna wanita tercantik di rumah ini. Ia sangat akrab denganku. Secara kebetulan, kekasihnya, Eri Pramudya atau Iyek, masih bersepupu dekat denganku.

Dua tahun di bawah Nana adalah si bungsi Intan Deviana Koeri. Dialah maskot kesayangan keluarga ini. Semua orang di rumah ini memanggilnya Ayang. Aku sendiri tetap memanggilnya Intan. Ia gadis yang cantik, ceria, cerdas, mandiri, dan amat pandai bergaul. Dia menjadi sahabat terbaikku sejauh ini, walau terkadang, jika sifat isengnya kambuh, ia sengaja membuatku kesal. Hampir setiap hari ia menjemput dan mengantarku pulang dengan mobil kesayangannya. Kami menempuh pendidikan di fakultas yang sama, di sebuah universitas ternama yang propertinya meliputi area yang amat luas di kawasan Depok, Bogor.

Aku kembali duduk menghadap laptop sambil memandangi jendela kaca berbingkai putih di kamar Intan. Jendela itu selalu menjadi tambatan mataku jika aku sedang berfikir atau melamun. Sinar lampu malam memantul tajam di setiap siku di bingkainya. Langit malam pun terlihat dari sana. Sepertinya hujan akan segera turun karena kulihat angkasa telah dipenuhi mendung kelabu berselaput jingga. Warna jingga itu berasal dari cahaya kota yang terpantul kembali oleh mendung tebal yang menggantung rendah.

Dua berkas petir menyambar bersilang di bawah gumpalan awan. Sejenak jantungku serasa berhenti berdetak. Bukan karena ledakan halilintar atau karena cahaya kilat yang menyilaukan mata itu, melainkan karena dalam kilatan cahaya itu mataku menangkap sesuatu di atas sana. Di sana, di ujung belakang rumah Intan yang bersiku, sesosok tubuh berdiri tegak di atas tingkap. Jika aku percaya takhayul, pasti aku mengiranya hantu. Tapi ayah dan kakakku selalu mengajariku untuk tidak takut kepada hantu karena hantu itu cuma ada dalam fikiran manusia dan hanya menjelma karena kesalahan persepsi akibat halusinasi, ilusi atau delusi. Sosok di atas tingkap itu pasti manusia, dan karena rumah ini didisain anti maling, manusia itu tak lain tak bukan pasti mas Nang yang konon memang sering duduk menyendiri di tingkap itu.

(bersambung ke Bab I - Jiwa Di Balik Dinding)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar