Kamis, 29 Oktober 2009

BAB I - Jiwa Di Balik Dinding

Intan
Sabtu, 11 April 2009, jam 20:30 Akhirnya sampai juga kami di depan gang menuju rumahku. Rutschel memperlambat laju mobilnya lalu mulai memutar setirnya dengan elegan. Aku memandangi wajahnya yang telah kembali segar. Dua jam sebelumnya wajah itu tampak begitu mengerikan, merah padam dan seolah bengkak di sana-sini. Sesuai dugaanku, ia terserang alergi. Ia menoleh kepadaku dan tersenyum. Senyum itulah yang dulu telah meruntuhkan hatiku. Senyum yang polos dan jujur.

Rutschel Bialokursky adalah pria berkewarganegaraan Polandia yang telah beberapa tahun ini menjadi expatriate atau tenaga ahli asing di Indonesia. Aku bertemu pertama kali dengannya tiga tahun yang lalu, ketika aku singgah di kantor mas Nang untuk membawakan PDA miliknya yang tertinggal. Ketika itu mas Nang masih menduduki jabatan manajer di sebuah perusahaan perbankan raksasa multinasional yang berlokasi di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan jam makan siang. Mas Nang mengajakku makan di sebuah restoran terkenal yang menyuguhkan citarasa yang khas dari Afrika Selatan dalam penyajian daging sapinya. Amat lezat. Kami berpapasan dengannya di depan eskalator.

Umurku memang masih muda, dan ketika peristiwa itu terjadi aku baru saja masuk ke perguran tinggi. Namun aku telah terbiasa bergaul dan berbincang dengan orang-orang dari mancanegara di tengah kota metropolitan ini. Kami bertemu dan berkenalan di mana saja; di pusat perbelanjaan, di restoran, di cafe, di diskotik, di dalam sebuah seminar, di lobi-lobi hotel, gedung perkantoran, dan lain-lain. Oleh karena itulah, ketika mas Nang bertegur sapa dengannya aku tidak terlalu menaruh perhatian padanya. Aku lebih memperhatikan sms yang baru saja masuk ke handset di tanganku.
"Your girl friend?" Sempat kudengar ia bertanya kepada mas Nang.
"My sister," jawab mas Nang, sambil menggamit tanganku untuk memperkenalkan kami.
"Intan, this is Rutschel. Rutschel, Intan," katanya kemudian.
Pria itu menjabat tanganku dengan hangat.
"Hello. Pleased to meet you," ujarnya berbasa-basi. Aku menganggukkan kepalaku.
"Pleased to meet you too," balasku.
"Have you got your lunch?" Mas Nang bertanya kepadanya, apakah ia sudah makan siang. Ia menggelengkan kepalanya.
"Not yet. The biding is still running. I have to go back inside and stay until everything is over. It will takes a few more minutes. I think," katanya sambil menunjuk sebuah pintu ruang rapat yang tertutup rapat di samping eskalator itu.
"We will have a table in Black Steer restaurant if you'd like to join," kata mas Nang menawarkan undangannya untuk santap siang bersama kami.
"I will really love to." Ia mengiyakan sambil tersenyum padaku. Aku tercekat. Senyumnya manis sekali.
"Then come. You'll be very welcome," kata mas Nang, dan aku setuju dengan pernyatan itu.

Selama setengah jam berbincang-bincang di restoran itu berkali-kali matanya menatap dengan hangat ke arah mataku. Dari pupil matanya, dari ekspresi wajah dan dari gestur tubuhnya aku yakin bahwa ia menyukaiku. Sebenarnya aku pun menyukainya. Ingin aku mengisyaratkan hal itu kepadanya. Tapi seperti biasa, aku tidak menuruti dorongan hati semacam itu. Aku banyak mendapat pelajaran dari Berliana, kakakku, bahwa wanita adalah makhluk yang paling rawan terhadap pelecehan seksual dalam berbagai kelas, jenis dan bentuk.

Aku menerima ajakannya untuk sebuah makan malam yang indah setelah ia melakukan proses pendekatan yang panjang dan mungkin juga cukup membosankan selama berbulan-bulan. Ketika pada suatu sore yang cerah di sebuah pusat perbeanjaan aku menyatakan bahwa aku menerimanya menjadi pendampingku, ia melompat ke udara dan berteriak seperti orang gila. Dalam lubuk hatiku, aku amat tersanjung dengan segala perjuangan yang hampir membuatnya putus asa hanya untuk mendapatkan seorang Intan.

Ia menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang rumahku. Seperti biasa, kami berpelukan dan berciuman sebelum berpisah. Aku memandangi mobilnya yang bergerak menjauh sambil melambaikan tangan. Rutschel tinggal di jalan yang sama denganku, di sebuah town housing yang nyaman. Ada 30 rumah mewah berukuran sedang di dalam kompleks yang dikelilingi tembok tinggi itu. Di tengahnya terdapat sebuah lapangan tenis, sebuah lapangan voli, sebuah lapangan basket, dua buah lapangan badminton, sebuah gedung gymnasium, dan sebuah kolam renang yang cukup besar. Ia tinggal bersama adiknya Linda yang telah menjadi salah satu sahabat karibku.

Kudengar bunyi gembok pintu gerbang rumah kami dibuka. Pada saat membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah, aku dikejutkan oleh sesosok tubuh yang rupanya sejak lama berdiri mematung di belakangku. Ia adalah Tuni, salah satu pembantu rumah tanggaku.
"Sejak kapan kamu berdiri di situ?" tanyaku dengan nada heran.
"Dari tadi mbak," jawabnya.
"Waktu mobil dateng tadi kamu udah ada?"
"Udah mbak, nyender di pintu. Mbak Ayang aja sama om Ransel yang gak lihat."
"Rasyel..." kataku mengoreksi pelafalannya terhadap nama Rutschel, "Terus, kamu lihat tadi aku ngapain di dalem mobil sama dia?"
"Dikiiit..." jawabnya sambil tertawa. Mau tak mau aku pun ikut tertawa. Tuni agak sedikit terbelakang. Tapi ia sangat rajin dan jujur.
"Nih, bawa tasnya ke dalem. Kasih ke ibu sepuh. Ini semua isinya kwetiau rebus. Ada buat kamu juga sama Minah. Ambil yang mana aja. Semuanya sama," kataku sambil menyodorkan sebuah tas plastik besar kepadanya.
"Asiiik, Tuni dapet kwetiau rebus. Makasih ya mbak! Mbak Ayang baik banget deh sama Tuni. Baik, cakep, pinter, makanya Tuni sayang banget sama mbak," serunya dengan gembira sambil memandangi tas itu.
"Iyaaaah, udah bawa masuk gidah."

Minah membuka pintu gerbang rumah kami lebar-lebar karena kebetulan Ratna telah tiba dengan mobilnya.

Ratna
Sabtu, 11 April 2009, jam 20:00. Airin, gadis kecil yang cantik itu mengantarku berjalan menuju pintu regol. Aku membelai rambutnya sebelum masuk ke dalam mobil yang memang tak pernah kuparkir di halaman rumah ini.
"Tante Na pulang dulu ya Airin, besok lusa, pulang kantor tante mampir lagi ke sini," kataku berpamitan sambil mencium pipinya yang lembut.
"Iya tante. Bener besok mampir lagi ya tante," jawabnya.
"Hm mh. Daahh Airin..."
"Dahh tante Na..."
Bisanya ibunyalah yang melepasku pergi. Kali ini tak kuijinkan karena ia baru saja melahirkan anaknya yang ke dua yaitu adik Airin. Untuk alasan itu juga, saat ini aku berada di sini; menjenguk ia dan bayinya. Mereka baru pulang dari rumah sakit bersalin.

Larina Santi Gading atau Rina, ibu Airin, adalah calon kakak iparku. Ia kakak kandung Eri. Semenjak Eri berangkat ke Samarinda untuk mengemban tugas kantornya beberapa bulan yang lalu aku rajin mengunjunginya. Terlebih lagi di saat ia sedang hamil. Kebetulan rumahnya berada di routeku sehari-hari jika aku berangkat atau pulang kerja. Suaminya, Armada Gading, adalah pegawai negeri sipil golongan empat. Saat itu ia memangku jabatan setaraf eselon dua sebagai Direktur di salah satu Direktorat di Departemen Keuangan, Jakarta. Keluarga ini sudah menganggap diriku sebagai bagian dari keluarganya meskipun aku dan Eri belum pernah membahas masalah pernikahan kami dengan mereka.

Jam 20:30. Masih sempat kulihat Range Rover milik Rutschel, pacar adikku Intan, bergerak menjauh dari depan rumahku. Mobil itu selalu membangkitkan ingatanku akan mobil mas Nang yang satu seri lebih tua darinya. Mobil yang dulu pernah menjadi kebanggaan kakakku dan sering kutumpangi jika ia mengantarku ke suatu tempat sebelum aku sendiri mampu membeli mobil ini.

Di masa itu mas Nang menjadi tumpuan hidup kami. Karirnya yang cemerlang di perusahaan perbankan internasional pernah mengangkat derajat kehidupan kami yang nyaris terpuruk akibat kesulitan ekonomi di tengah resesi yang tinggi. Kini pahlawan kami itu sedang berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Semenjak peristiwa mengerikan yang menimpanya dua tahun yang lalu ia menjadi sosok yang amat pendiam, tidak lagi hangat, tidak lagi ceria. Kami bersyukur karena kami masih berhasil menyelamatkannya dari kejatuhan yang lebih dalam lagi. Ia pernah sakit. Sakit yang teramat parah. Baik secara fisik maupun psikis.

Meskipun kini ia bagaikan mayat hidup, ia tetaplah kami anggap sebagai pahlawan kami sepanjang masa. Sungguh sayang, jiwanya yang dahulu begitu hidup kini telah jauh terbenam di dalam kesendiriannya yang sunyi. Ia yang dahulu begitu jenius, jujur dan apa adanya. Ia yang menjadi pujaan hati banyak orang, kini seakan-akan telah membangun barikade dan dinding yang teramat tinggi untuk melindungi jiwanya dari dunia luar. Sering aku duduk sendiri di pinggir kolam angsa kesayangannya dulu, untuk mengenang masa-masa indah di kala ia masih menjadi pujaan hati segenap makhluk yang ada di sekelilingnya.

Aku membunyikan klakson mobilku untuk memberi isyarat akan kedatanganku kepada Intan, Tuni dan Minah yang kulihat tengah bercakap-cakap di depan pintu gerbang rumah kami. Minah membuka gerbang itu lebar-lebar agar aku bisa langsung memasukkan mobilku. Aku melewati mereka sambil membuka kaca jendela.
"Makasiih..." seruku sebelum memarkir mobilku di belakang mobil Intan. Mas Nang telah membangun sebuah garasi yang amat besar yang mampu menampung sedikitnya enam mobil meskipun di kala itu di rumah ini hanya terdapat sebuah mobil, yaitu BMW 520i keluaran tahun 1990 bekas kepunyaan ayahku dulu. Bahkan dikala itu pun ia telah meramalkan kesuksesannya. Kesuksesan yang akhirnya hancur di tangan seorang wanita; kekasihnya sendiri, calon isterinya yang ternyata seorang perempuan durjana.

"Jadi ke rumah Rina tadi mbak?" kudengar Intan bertanya di belakangku.
"Jadi dong, " jawabku sambil merangkulnya untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping, pintu yang menghubungkan garasi itu dengan koridor menuju ruang tengah rumah kami.
"Kayaknya gue liat mobil si Kenu tadi. Dari mana?" tanyaku kemudian. Kenu adalah julukan yang kuberikan kepada Rutschel karena dari beberapa sudut, wajahnya amat mirip dengan Keanu Reeves, bintang film Hollywood
"Dari rumah sakit. Tadi dia kena alergi," jawabnya.
"Masa?"
"Ho-oh!"
"Sama elo?"
"Ya iyalah! Masa sama nyokap?"
"Cuma ke rumah sakit doang?"
"Emang kemana lagi?"
"Kali aja nyangkut di mana dulu gitu. Nyempet-nyempetin."
"Mmakksutt lookh...?
"Mesra-mesra'an. Kan malem minggu."
"Mesra-mesra'an... Emangnya elo. Kalo elo sih gue percaya. Bumi lagi kiamat juga pasti masih nyempet-nyempetin mesra-mesraan sama si Eri. Tuh, gue cuma mampir beli makanan buat entar malem soalnya tadi sore Minah gak masak gara-gara kompornya ngadat."
"Buset, sedih amat, pake segala ada kompor ngadat."
"Namanya juga alat elektronik, ada waktunya ngadat."
"Emang kompor barang elektronik?"
"Lah, kan kompornya, kompor listrik."
"Oh, iya, ya. Suka lupa. Rasanya masih pake kopor minyak aja kayak jaman dulu."
"Laaahh! Kemane aje ente?"
Aku paling menyukai ekspresi wajahnya di saat-saat seperti itu.

Intan adalah makhluk kesayangan di rumah ini. Ketika kecil dulu wajahnya amat lucu. Tak seorangpun yang tak gemas melihat wajahnya. Kini ia telah menjadi gadis yang sangat cantik. Bahkan sejak ia masih duduk di bangku SMP, banyak tawaran baginya untuk terjun ke layar kaca baik sebagai bintang iklan maupun sebagai bintang sinetron. Tapi ia tak pernah bersedia menjalani casting atau audisi apapun. Usia kami terpaut dua tahun. Sejak kecil dulu kami selalu kompak, terutama di saat harus menghadapi Berliana yang dalam pandangan masa anak-anak kami dulu begitu nyinyir. Beberapa kali kami berhasil membuatnya menangis. Mas Nanglah yang biasanya mendamaikan kami dengan menyuruh kami minta maaf kepada Berliana.

Mas Nang... Yang kini begitu jauh di awang-awang. Masih besar harapanku agar ia 'turun' kembali ke dunia kami...

(Bersambung ke BAB II - Secercah Sinar Bidadari)

PENDAHULUAN - Dari Kamar Intan

Narita
Hampir dua jam aku duduk bersila di depan laptop yang kubuka di atas karpet di tengah kamar Intan. Sudah berkali-kali aku merubah posisi duduk supaya kakiku tidak kesemutan. Si pemilik kamar sendiri belum juga muncul, padahal sore itu kami berdua bermaksud mengerjakan dua tugas kelompok yang harus dikumpulkan pada hari Selasa. Begitulah, di saat kakakku Nandya yang bersedia mengantarku baru saja membelokkan mobilnya ke jalan besar, Intan menghubungiku melalui pesawat telepon selularku lalu berbicara tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menyela; "Halo Ta, Ta sorry banget nih gue kayaknya harus nganterin cowok gue dulu ke rumah sakit. Tapi lo langsung aja ke rumah gue ya? Lo tungguin gue di kamar. Nyokap udah tau kok kalo lo mo dateng. Data anak-anak ada di meja. Ya Ta ya? Ga pa-pa kan Ta? Gak lama kok, paling jam delapan gue udah balik. Oke say? Udah ya, gue mo cabut dulu. Lo ti-ti-di-je ya, salam sama teh Ndai. Oke? Dah cintaa... Mmmuaachhh." Aku cuma berharap ia tidak lupa waktu dan lupa diri lalu membiarkanku bekerja sendirian di kamarnya sampai larut malam.

Sebuah ketukan ganda terdengar lembut di pintu kamar. Jelas bukan Intan. Jika ia yang datang pintu itu pasti langsung terbuka lebar-lebar. Mungkin tante Marga - begitulah aku memanggil ibunda Intan - yang mengetuk pintu itu.
Tante Marga selalu menyempatkan diri mengunjungiku jika aku menginap di kamar Intan. Ia wanita yang ramah dan baik hati. Aku suka padanya.
Benar saja, di depan pintu itu ia berdiri dengan senyumnya yang khas. Kedua tangannya menggenggam sebuah nampan plastik. Di atasnya tampak sebuah teko yang terbuat dari kaca berisi cairan panas berwarna kecoklatan, sebuah mug keramik, dan sepasang cangkir. Ia menyodorkan nampan itu kepadaku.
"Nih sayang, tante bawain moka krim bikinan tante buat nemenin kamu begadang nanti malem. Enak deh, tante campurin jahe sama bubuk sinamon. Tapi jangan diminum sekarang. Masih terlalu panas. Nanti aja minumnya pas lagi anget-anget," katanya. Seharusnya aku menuruti nasehatnya ketika itu supaya keesokan harinya lidahku tidak terasa perih sepanjang hari.
"Wah, makasih banyak tante," kataku sambil menerima nampan tersebut dengan sukacita. Aku tak segera beranjak membawa nampan itu masuk ke dalam kamar karena aku tau mug di atas nampan itu bukan untuk kami. Dan benarlah, "Eh, sebentar sayang, mug itu punya tante," katanya sambil meraih mug tersebut dari atas nampan yang kupegang. Aroma yang khas tercium mengiringi kepulan uap yang keluar dari lubang kecil yang terdapat pada tutupnya. Aroma kopi yang harum. Aku mengernyitkan alis. Sepengetahuanku tante Marga tidak suka minum kopi.
"Sebenernya ini buat si Nang," katanya.

Nang adalah nama kecil dari Seto Sadino Koeri, kakak Intan yang paling tua. Aku biasa memanggilnya mas Nang. Ia anak sulung dari empat bersaudara di keluarga ini dan merupakan lelaki satu-satunya. Ayah Intan, Sadino Koeri meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Singapura ketika Intan masih berumur empat tahun. Semenjak itu isterinya, Margarini Koeri atau tante Marga hidup menjanda tanpa pernah menikah lagi.

Terpaut usia dua tahun di bawah Nang adalah adiknya, Berliana Resti Koeri atau Berli. Ia seorang wanita anggun yang mempesona. Namanya berganti menjadi Berliana Reksowiryo setelah ia menikah dengan seorang pengusaha muda tampan bernama Harkrisno Reksowiryo. Kris atau mas Kris, begitulah kami biasa memanggilnya. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat lucu bernama Aksel. Aksel menjadi salah seorang bintang sinetron cilik.

Lima tahun di bawah Berli adalah Ratna Deliani Koeri yang biasa dipanggil Nana. Ia seorang gadis tomboi bermata tajam yang cantik jelita. Menurutku Ratna wanita tercantik di rumah ini. Ia sangat akrab denganku. Secara kebetulan, kekasihnya, Eri Pramudya atau Iyek, masih bersepupu dekat denganku.

Dua tahun di bawah Nana adalah si bungsi Intan Deviana Koeri. Dialah maskot kesayangan keluarga ini. Semua orang di rumah ini memanggilnya Ayang. Aku sendiri tetap memanggilnya Intan. Ia gadis yang cantik, ceria, cerdas, mandiri, dan amat pandai bergaul. Dia menjadi sahabat terbaikku sejauh ini, walau terkadang, jika sifat isengnya kambuh, ia sengaja membuatku kesal. Hampir setiap hari ia menjemput dan mengantarku pulang dengan mobil kesayangannya. Kami menempuh pendidikan di fakultas yang sama, di sebuah universitas ternama yang propertinya meliputi area yang amat luas di kawasan Depok, Bogor.

Aku kembali duduk menghadap laptop sambil memandangi jendela kaca berbingkai putih di kamar Intan. Jendela itu selalu menjadi tambatan mataku jika aku sedang berfikir atau melamun. Sinar lampu malam memantul tajam di setiap siku di bingkainya. Langit malam pun terlihat dari sana. Sepertinya hujan akan segera turun karena kulihat angkasa telah dipenuhi mendung kelabu berselaput jingga. Warna jingga itu berasal dari cahaya kota yang terpantul kembali oleh mendung tebal yang menggantung rendah.

Dua berkas petir menyambar bersilang di bawah gumpalan awan. Sejenak jantungku serasa berhenti berdetak. Bukan karena ledakan halilintar atau karena cahaya kilat yang menyilaukan mata itu, melainkan karena dalam kilatan cahaya itu mataku menangkap sesuatu di atas sana. Di sana, di ujung belakang rumah Intan yang bersiku, sesosok tubuh berdiri tegak di atas tingkap. Jika aku percaya takhayul, pasti aku mengiranya hantu. Tapi ayah dan kakakku selalu mengajariku untuk tidak takut kepada hantu karena hantu itu cuma ada dalam fikiran manusia dan hanya menjelma karena kesalahan persepsi akibat halusinasi, ilusi atau delusi. Sosok di atas tingkap itu pasti manusia, dan karena rumah ini didisain anti maling, manusia itu tak lain tak bukan pasti mas Nang yang konon memang sering duduk menyendiri di tingkap itu.

(bersambung ke Bab I - Jiwa Di Balik Dinding)