Minggu, 01 November 2009

BAB II - Secercah Sinar Bidadari

Narita
Di keremangan langit malam berselimut awan hitam tubuh itu bagaikan bayangan hilang-timbul. Aku mengamati gerak-geriknya. Ia menatap langit. Ia pasti sadar bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Memanglah, titik-titik air mulai terlihat seperti ribuan peri kecil turun ke bumi terkena pantulan sinar lampu teras belakang. Ia berjalan perlahan ke arah tangga lingkar di samping gudang. Tingkap itu memang sebenarnya merupakan atap dari gudang yang dibangun terpisah dari rumah induk yang megah itu. Ada koridor sepanjang kurang lebih tiga puluh meter ke arah sana dari pintu belakang garasi yang terletak di samping rumah.

Ia menghilang dari atap itu. Aku keluar dari kamar Intan dan berdiri di depan aquarium. Aku ingin bercakap-cakap dengannya sekali lagi. Sebenarnya cukup sering kami berpapasan dan bertegur sapa di rumah itu tapi baru tiga kali kami terlibat dalam percakapan. Suasana hatinya terlihat tidak stabil. Pada suatu saat ia terkesan hangat dan ramah, tapi di saat lain ia menjadi pendiam dan dingin. Walau demikian, dalam pandanganku ia amat sopan dan selalu menghargai orang lain.

Percakapanku yang pertama dengannya terjadi seusai sebuah pesta kecil yang sederhana di hari uang tahunnya yang ke-duapuluh sembilan, yang sebenarnya iapun malas merayakannya, Desember tahun lalu. Ketika itu kami sedang melepas Berliana dan keluarganya yang akan pulang ke rumahnya. Aku tengah mengumamkan sebuah lagu lama berirama bossanova berjudul "Girl From Ipanema" ketika kurasakan tatapannya melekat padaku. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
"Mas," sapaku ketika itu. Ia membalasnya dengan anggukan dan senyum kecil.
"Suka jazz?" tanyanya ketika itu, sambil menghampiriku.
"Suka," jawabku setengah terkejut, karena baru kali itulah ia bersedia membuka percakapan denganku.
"Jenis apa?"
"Standard, klasik, bosas, kadang juga fusion," jawabku sedikit nervous.
Ia mengangguk-angguk kecil sambil mengamatiku. Wajahnya terkesan santai sehingga rasa grogiku hilang dengan sendirinya.
"Punya koleksi di rumah?"
"Enggak sih," jawabku sambil tertawa, "Ya ada juga sih tapi terlalu sedikit buat dibilang koleksi. Biasanya kalo lagi pengen denger jazz Ita pinjem CD papi."
"Oh, ayah kamu penggemar jazz juga?"
"Penggemar abis mas. Segala macem jazz dia suka. Koleksinya satu rak penuh kayak perpustakaan. Tiap album dia kasih komentar di komputernya."
"Ayah kamu kritikus musik?"
"Bukan. Papi Ita photographer. Tapi apresiasinya ke musik juga tinggi."
"Wah, kesukaan ayah kamu mirip sama kesukaanku. Aku juga suka fotografi sama jazz."
"Oh ya? Berarti mas cocok nih, kalo ngobrol sama papi."
"Iya, ya. Ayah kamu punya galeri?"
"Punya. Kalo mas kapan-kapan main ke Bandung, mampir aja ke galeri papi. Temen-temen dia banyak yang betah ngobrol di situ berjam-jam sambil ngopi. Kadang sampe nginep-nginep."
Ia tertawa. Baru kali itulah aku melihatnya tertawa. Sebuah momen yang luar biasa bagiku.
"Kalo hobi fotografi berarti ayah kamu punya banyak kamera dong?"
"Banyak mas, dari yang jadul sampe yang paling baru. Jenisnya macem-macem, kelasnya macem-macem, ukurannya macem-macem, mereknya juga macem-macem. Papi bukan cuma hobi. Dia profesional. Cari makan dari situ."
"Hebat. Salut buat ayah kamu. Kamu sendiri suka motret nggak?"
"Mmm... Nggak terlalu sih. Teh Nday tuh yang nurunin hobi papi. Hasil potretnya bagus-bagus. Kata orang, artistik."
"Wah, boleh ah, kapan-kapan aku ngobrol sama kakak kamu."
"Ngobrol aja. Teh Nday orangnya asik kok, nyantai."
Percakapan kami selanjutnya berkisar pada masalah musik dan fotografi. Pengetahuannya tentang dua hal itu sangat luas. Diam-diam aku merasa senang karena berhasil menarik minatnya berbicara. Sehari-harinya ia diam seperti arca.

Percakapan kami yang ke-dua terjadi pada minggu pagi yang cerah di awal Januari lalu setelah di malam sebelumnya aku juga harus menginap di rumah itu untuk mempertajam ingatan kami tentang berbagai materi kuliah sebagai persiapan menghadapi ujian akhir semester yang akan dimulai seminggu setelahnya. Sehabis mandi pagi aku berjalan-jalan di halaman belakang yang luas dan ditumbuhi rerumputan hijau permai. Aku menemani Ratna yang ketika itu sedang memberi makan hewan-hewan peliharaanya. Ada belasan ekor ayam kate di sana, beberapa ekor itik peking, enam ekor angsa jenis besar dan beberapa ekor kelinci. Aku bercanda ria dengan Ratna sambil menggendong seekor kelinci berwarna putih yang lucu. Saat itu kulihat mas Nang sedang duduk di teras belakang sambil mengamati sesuatu di layar telepon selularnya. Ketika ia menengok ke arah kami, aku melambaikan tanganku ke arahnya, dan ia membalasnya.
"Mbak Nana, mas Nang mau nggak ya aku ajak ngobrol," kataku kepada Ratna. Ratna menoleh ke arah kakaknya sambil mengamati wajah pria itu dari jauh, untuk mencoba membaca suasana hatinya pagi itu.
"Coba aja gidah. Gue mo metik kembang dulu buat nyokap. Entar gue nyusul ke situ," jawab Ratna sambil membelai rambutku, sebelum menghilang ke taman bunga di samping rumah. Ratna memang gemar sekali membelai rambutku dan kadang juga menciumi pipiku. Katanya, wajahku seperti bidadari kecil. Mungkin ia lupa bahwa aku sudah duduk di semester lima di bangku kuliahku.
Aku menghampiri mas Nang perlahan-lahan sambil tetap menggendong kelinci Ratna.
"Lagi ngapain mas?" tanyaku sambil mengamati telepon genggamnya yang berlayar lebar.
"Lagi iseng aja ngisi status di facebook," jawabnya.
"Sini Ta, duduk," sambungnya, seraya mempersilakanku menempati kursi di sampingnya.
Aku duduk di kursi itu senyaman mungkin sambil memangku kelinci Ratna.
"Kamu suka binatang?" tanyanya kemudian.
"Suka," jawabku.
"Punya peliharaan di rumah?"
"Enggak. Halaman rumah Ita sempit jadi nggak bisa bebas melihara hewan. Tapi di rumah Ita yang di Bandung ada kandang burung besar. Isinya macem-macem burung berkicau. Ita juga punya kucing persia. Ada empat ekor."
"Kucing persia? Aku tau hewan itu. Binatang bagus."
"Iya. Ita suka bulunya yang panjang. Dia dari Iran ya mas?"
"Iran? Bukan. Dia dari Eropa, hasil persilangan kucing angora sama kucing roma. Dibudidaya di Perancis sama di Inggris."
"Ooo... Ita pikir dia dari Iran. Soalnya kan persia itu nama lain dari negara Iran."
"Jangan terkecoh sama penamaan hewan hasil budidaya Ta. Di Amerika juga ada kucing yang namanya kucing bali, tapi nggak ada unsur balinya sama sekali. Dia hasil persilangan kucing siam sama kucing lokal sana. Dikasih nama bali karena badannya ramping, terus gerakannya lemah gemulai kayak penari bali."
"Oo... Lucu ya mas."
"Hm-mm..."
Percakapan kami selanjutnya berkisar tentang ditemukannya kucing pertamakali di negara Sudan, tentang si cantik Nevertiti, permaisuri pujaan firaun yang pertamakali membudidaya kucing di Mesir, tentang penemuan ratusan mumi kucing di kota tua Bubaptis, tentang penghormatan bangsa Mesir terhadap hewan itu, tentang mitos mengenai dewi kucing bernama Bats yang dipercaya membawa kesuburan, dan lain-lain. Ia membuatku kagum dengan pengetahuannya yang luas. Diam-diam aku berangan-angan, jika aku secantik Nevertiti, apakah ia juga akan memujaku?

Percakapan kami yang terakhir terjadi tiga minggu setelahnya, ketika aku singgah di rumah itu setelah setengah-harian menemani Intan berenang kolam renang langganan kami di Puri Cinere. Ia sedang bersila di karpet ruang tengah sambil menonton televisi ketika kami datang. Intan langsung duduk di sampingnya dan mencium pipinya.
"Nonton apa mas?" tanya Intan.
"Ini, kangen sama film Jurrasic Park yang pertama," jawabnya sambil tetap menatap layar televisi.
"Ada Ita nih," kata Intan selanjutnya sebelum berdiri dan masuk ke kamarnya sambil membawa belanjaan yang sempat kami beli di mall Cinere. Pria itu menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Apa kabar Ta?" sapanya.
"Baik, mas Nang apa kabar?"
"Baik juga. Gimana tadi berenangnya? Having so much fun di kolam?"
"Ita nggak ikutan berenang mas, cuma ngobrol sama temen yang kebetulan ketemu di sana."
"Kenapa nggak ikut berenang?"
"Ita lagi menjelang mens. Kalo ikutan berenang nanti takutnya tau-tau dia dateng."
"Mm, gitu," katanya sambil mengangguk kecil, "UAS-nya udah kelar kan?" sambungya.
"Udah mas. Sekarang udah masuk masa libur pendek."
"Udah punya rencana buat ngisi liburan?"
"Udah mas, Ita mo pulang ke Bandung, kangen-kangenan sama mami-papi, terus nginep di rumah nenek di Lembang, di desa kelahiran Ita."
"Oh, kamu kelahiran Lembang ya. Aku pernah berapa kali juga ke sana tapi nggak pernah sempet jalan-jalan karena sibuk tugas kerja. Enak ya, di sana, sejuk."
"Enak banget mas. Udaranya masih bersih. Ita suka banget di sana. Setiap nginep Ita pasti nyempetin makan tahu tauhid kesukaan Ita. Enak banget tahunya, gurih, lembut. Terus Ita nyamperin temen-temen Ita waktu kecil dulu. Nanti kalo udah siangan dikit Ita mampir deh beli susu murni sama yoghurt."
Ia mengangguk-angguk, "Luas ya Ta, Lembang itu?" tanyanya kemudian.
"Mm.. Ada sih kalo seratus kilometer persegi aja. Sebenernya Lembang itu masih masuk kabupaten Bandung. Dia itu daerah kecamatan."
"Halaman rumah kamu luas di sana?"
"Luas mas. Nenek Ita punya kebun yang mirip hutan kecil. Kalo kapan-kapan mas main ke sana, mas bisa jalan-jalan naik kuda. Om Ita punya kuda bagus dari australi. Ada juga kuda-kuda sandel dari Nusa Tenggara buat dipake sama keponakan Ita jalan-jalan."
"Oh ya? Aku belum pernah naik kuda. Kamu sering ya?"
"Enggak juga. Ita masih takut duduk lama-lama di atas kuda. Teh Nday tuh yang hobi naik kuda. Kadang suka ngebut ajrut-ajrutan. Ita suka ngeri ngelihatnya."
Ia tersenyum memandangiku sehingga akupun ikut tersenyum. Senyum itu cukup menghibur di tengah ketidak-nyamananku pada masa pre menstruasi itu.
"Di Jakarta kamu tinggal berdua aja sama Nandya?" tanyanya kemudian.
"Iya. Eh, ada sih bibi yang suka masak sama nyuci-seterika. Tapi dia pulang hari, nggak pernah nginep."
"Daerah rumah kamu aman?"
"Aman mas. Rumah Ita kebetulan di hook yang deket sama pos sekuriti. Berapa kali Ita ditinggal berhari-hari sama teh Nday karena tugas kantor, nggak pernah ada masalah."
"Jarak umur kalian kayaknya agak jauh ya?"
"Jauh mas. Lima belas tahun. Makanya teh Nday sayang banget sama Ita."
Ia mengamatiku dengan seksama. Entah apa yang ada dalam fikirannya ketika itu. Tatapan matanya membuatku tergelitik perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya jika aku berhadapan dengan seorang pria.
Akhirnya kami berdua jatuh tertidur di depan televisi. Dalam tidur itu aku bermimpi bercengkerama dengannya di kebun nenekku di Lembang. Aku merasa amat bahagia. Sayang kebahagiaanku itu tiba-tiba terganggu oleh kehadiran sepasang velociraptor, binatang mengerikan yang pernah kulihat dalam film Jurrasic Park.

Aku tengah mengamati sepasang ikan arwana besar berwarna merah yang ada di dalam akuarium itu ketika tiba-tiba aku berubah fikiran. Aku mengurungkan niatku untuk menemuinya di depan deretan kamar itu. Aku tersadar, jika ia berada di tingkap, itu tandanya ia sedang ingin menyendiri. Tak seharusnya aku mengganggu kesenangannya. Aku segera berlari masuk kembali ke kamar Intan.


Intan
Ratna mengikutiku masuk ke dalam kamarku. Kami mendapati Narita sedang duduk bersila di depan laptop miliknya. Ia teperangah melihat kami seolah baru terbangun dari sebuah lamunan. Ratna langsung memelukinya seolah ia sebuah boneka besar.
"Auw mbak Nana, auw..."
"Gue gemes banget deh sama lo Ta, asli."
"Iya, tapi ini kaki aku kebengkek..."
"Haha... Sorry chayang."
Aku tak bisa menyalahkan Ratna yang teramat sayang kepada temanku itu. Narita, tak pelak lagi memang memiliki kecantikan yang luar biasa. Kecantikan yang dipadu dengan kepolosan, kejujuran, kecerdasan dan kebaikan hati itu diakui oleh banyak orang telah melahirkan sebuah inner beauty yang meruntuhkan hati setiap pria di manapun ia berada. Ia, secara tak disadarinya, telah menjadi primadona di fakultas, dan barangkali juga di seantero universitas kami. Tak seorangpun, dari mulai dekan hingga petugas parkir yang tak tergoda untuk menyapa atau sekedar memanggil namanya bila berpapasan dengannya. Dan ia, dengan kebersahajaannya selalu menjawab semua sapaan itu dengan spontan. Jika ia duduk di kelas semua mahasiswa ingin mencuri kesempatan untuk dapat duduk di sampingnya. Jika ia duduk di kantin fakultas, mejanya akan segera menjadi ramai. Banyak mahasiswa dari fakultas lain dan bahkan dari perguruan tinggi lain yang ingin ikut bercengkerama dengannya. Namun tak sedikitpun ia tertarik untuk berkencan dengan salah seorang dari mereka, setampan apapun mereka itu. Ia lebih senang bepergian denganku atau dengan teman-teman dari kelompok belajar kami yang hanya terbatas enam orang saja.
"Udah sampe di mana Ta?" tanyaku kepadanya setelah Ratna meninggalkan kami untuk pergi ke kamar mandi.
"Gue baru kelar gabung-gabungin kerjaan anak-anak. Kayaknya gaya bahasanya semua udah sama. Jadi kita gak usah kebanyakan ngedit."
"Gabung-gabungin sama ngedit tulisan sih gampang Ta. Tabelnya itu yang penting."
"Iya, tau Tan."
"Udah?"
"Belom."
"Kok belom? Biasanya lo paling semangat ngerjain tabel."
"Iya, tapi belom."
"Ada masalah sama datanya?"
"Enggak."
"Terus kenapa belom?"
"Mm... Tadi gue lagi kena males."
"Ah, baru ini gue denger lo kena males. Biasanya lo nggak pernah kena males."
"Bawel ah Tan! Yaudah ni lo terusin ngeditnya. Gue bikinin tabelnya di laptop elo. Mana sini laptopnya."
"Entar aja ah Ta, gue laper nih. Kita makan dulu aja yok? Gue beliin kwetiau rebus enak tuh."
"Aduh, mau banget sih, tapi..."
"Tapi apa?"
Ia terlihat bimbang sejenak, "Enggak, nggak pa-pa," jawabnya.
"Ya udah ayo."
Ia mengikutiku ke ruang makan sambil memegangi kedua pundakku seperti anak yang sedang bermain ular naga.


Ratna
Aku menuju ruang makan setelah selesai menikmati curahan air yang sejuk dan segar dari shower di kamar mandi kami dan mengganti baju kerjaku dengan celana pendek dan T-shirt yang dingin dan lembut. Kulihat ibuku sedang mengetuk pintu kamar mas Nang untuk mengajaknya bergabung bersama kami. Aku mendapati Intan dan Narita telah duduk di meja makan sambil mengamati layar telepon genggam milik Narita.
"Lagi pada nontonin apa sih?" tanyaku.
"Bokep nih mbak. Koleksinya Ita" jawab Intan. Aku tertawa. Ia pasti bergurau karena Narita paling anti pornografi.
Narita membelalakkan matanya lebar-lebar ke arah Intan, lalu ke arahku.
"Iiihh... Apaan sih? Bohong mbak Nana, nggak ada yang begitu-begituan di hape aku. Rese lo Tan! Sini hape gue!" katanya sambil merebut pesawat selular itu.
"Lah itu, banyak tuh video sama gambar telanjangnya di situ." kata Intan lagi.
"Maana? Ini? Ya iyalah telanjang! Masa gorila disuruh pake celana? Blo'on maneh teh!"
"Gorila?" tanyaku heran.
"Iya mbak Nana, ini foto-foto sama film gorila di pusat primata Ragunan, teh Nday yang ngambil pake hape aku," jawabnya sambil melirik tajam ke arah Intan, "Perasaan, elo sendiri deh yang pernah bilang fitnah itu lebih kejam daripada kolesterol," sambungnya kepada Intan.
"Tapi gorilanya banyak yang kelihatan pantatnya kan Ta. Gorilanya jantan lagi." kata Intan.
"Terus kenapa? Emangnya lo terangsang apa, liat pantat gorila?" tanya Narita.
"Iya."
"Haha... Itu mah emang elo aja yang ada kelainan. Amit-amit! Dasar gelo! Gue mah, mikir aja enggak! Jijay tau."
"Jijay kok lo simpen terus?"
"Tau ah Tan! Stress gue ngomong sama elo," kata Narita sambil membuang muka. Aku tak dapat menahan tawa mendengar obrolan mereka berdua.
Mas Nang dan ibuku datang menghampiri kami. Mas Nang menarik bangku di sebelah kananku, sementara ibuku duduk di sebelah kiri Narita yang berseberangan denganku.
"Mama mau duduk di sini ah, di sebelah anak cantik," kata ibuku sambil menoleh ke arah Narita, "Ikut makan ya sayang?" sambungnya.
"Iya tante, makasih," jawab Narita dengan senyumnya yang manis.
"Ita udah bukan anak-anak lagi, tau ma, udah dewasa, udah bisa bikin anak," kata Intan.
Narita menoleh seketika ke arahnya sambil membelalakkan mata.
"Hus, jangan kasar ah Yang. Ita kan bidadari kecil mama, masa disuruh bikin anak," kata ibuku sambil tertawa. Narita diam seribu basa sambil menatap langit-langit.
"Tuh, dia lagi ngebayangin cowoknya tuh," kata Intan. Narita memasang wajah acuh tak acuh menanggapi pernyataan itu.
"Oh, udah punya pacar toh. Aduuh, senengnya dengernya, kenapa nggak dikenalin sama tante?" tanya ibuku. Narita terperanjat.
"Siapa yang... Eh, enggak kok tante, Ita belom punya pacar. Ngaco deh lo Tan." kata Narita.
"Kemaren, katanya lo pengen pedekate sama Markodil," jawab Intan.
"Markodil? Aduh, lucu sekalii becandanya ya Intan!"
"Markodil ki sopo?" tanya ibuku.
"Preman mabok di depan kompleks rumahnya yang suka malakin anak-anak kecil," jawab Intan sambil tertawa.
"Ah, ya enggak lah. Kalo bisa cari yang lebih nggenah dong. Iya kan, cah ayu," kata ibuku kepada Narita.
"Ita cuma kepengen orang itu jadi responden Ita kok tante, bukan buat jadi pacar... Teung-teuingan emang si Intan, Dasar jayus, lebay!" jawab Narita sambil menggerutu ke arah Intan.
"Jayus karo Lebai ki sopo meneh?" tanya ibuku. Narita menoleh ke arahnya dengan wajah bingung.


Intan
Ada yang aneh dengan cara makan Narita. Ia tampak tak bebas mengunyah. Sepertinya ada salah satu bagian di dalam mulutnya yang terasa tak nyaman jika terkena makanan.
"Lo lagi sariawan ya Ta?" tanyaku kepadanya. Ia berfikir sejenak, lalu menggeleng.
"Kok makannya kayak nggak nikmat gitu?" tanyaku lagi.
"Mmm... Ini nih, lidah gue rasanya getir campur pedih dikit," jawabnya.
"Kenapa? Perasaan, tadi nggak kenapa-napa? Apa kwetiaunya kepedesan?" tanya Ratna.
Narita menggeleng sambil mengerling sejenak ke arah ibuku.
"Aku tadi nyicipin moka krim bikinan tante mbak, tapi kayaknya masih terlalu panas. Lidah aku kepanasan," jawabnya.
"Lho! Tadi kan tante udah bilang, minumnya entar-entaran aja pas udah rada angetan?" kata ibuku dengan wajah terperanjat.
"Mmm... Iya tante, tapi Ita tadi nggak tahan pengen nyicipin," jawabnya sambil tertawa dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Emang tadi ngasihnya masih panas banget ya mam?" tanyaku kepada ibuku.
"Waktu mama tuang sih emang masih mendidih," jawab ibuku.
"Bujubunyet! Ya iyalah Ta, air mendidih lo sosot begitu aja, untung nggak melepuh tuh bibir lo," kataku sambil tertawa terbahak-bahak.
"Ssh! Jangan ketawa dong Tan! Entar yang lain pada ikut ketawa!" desah Narita di dekat telingaku. Terlambat. Semua orang di meja makan ikut tertawa. Mas Nang pun tersenyum lebar. Ini menyenangkan, karena di tahun-tahun terakhir ini sangat jarang ia bisa tersenyum selebar itu.

Kamis, 29 Oktober 2009

BAB I - Jiwa Di Balik Dinding

Intan
Sabtu, 11 April 2009, jam 20:30 Akhirnya sampai juga kami di depan gang menuju rumahku. Rutschel memperlambat laju mobilnya lalu mulai memutar setirnya dengan elegan. Aku memandangi wajahnya yang telah kembali segar. Dua jam sebelumnya wajah itu tampak begitu mengerikan, merah padam dan seolah bengkak di sana-sini. Sesuai dugaanku, ia terserang alergi. Ia menoleh kepadaku dan tersenyum. Senyum itulah yang dulu telah meruntuhkan hatiku. Senyum yang polos dan jujur.

Rutschel Bialokursky adalah pria berkewarganegaraan Polandia yang telah beberapa tahun ini menjadi expatriate atau tenaga ahli asing di Indonesia. Aku bertemu pertama kali dengannya tiga tahun yang lalu, ketika aku singgah di kantor mas Nang untuk membawakan PDA miliknya yang tertinggal. Ketika itu mas Nang masih menduduki jabatan manajer di sebuah perusahaan perbankan raksasa multinasional yang berlokasi di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan jam makan siang. Mas Nang mengajakku makan di sebuah restoran terkenal yang menyuguhkan citarasa yang khas dari Afrika Selatan dalam penyajian daging sapinya. Amat lezat. Kami berpapasan dengannya di depan eskalator.

Umurku memang masih muda, dan ketika peristiwa itu terjadi aku baru saja masuk ke perguran tinggi. Namun aku telah terbiasa bergaul dan berbincang dengan orang-orang dari mancanegara di tengah kota metropolitan ini. Kami bertemu dan berkenalan di mana saja; di pusat perbelanjaan, di restoran, di cafe, di diskotik, di dalam sebuah seminar, di lobi-lobi hotel, gedung perkantoran, dan lain-lain. Oleh karena itulah, ketika mas Nang bertegur sapa dengannya aku tidak terlalu menaruh perhatian padanya. Aku lebih memperhatikan sms yang baru saja masuk ke handset di tanganku.
"Your girl friend?" Sempat kudengar ia bertanya kepada mas Nang.
"My sister," jawab mas Nang, sambil menggamit tanganku untuk memperkenalkan kami.
"Intan, this is Rutschel. Rutschel, Intan," katanya kemudian.
Pria itu menjabat tanganku dengan hangat.
"Hello. Pleased to meet you," ujarnya berbasa-basi. Aku menganggukkan kepalaku.
"Pleased to meet you too," balasku.
"Have you got your lunch?" Mas Nang bertanya kepadanya, apakah ia sudah makan siang. Ia menggelengkan kepalanya.
"Not yet. The biding is still running. I have to go back inside and stay until everything is over. It will takes a few more minutes. I think," katanya sambil menunjuk sebuah pintu ruang rapat yang tertutup rapat di samping eskalator itu.
"We will have a table in Black Steer restaurant if you'd like to join," kata mas Nang menawarkan undangannya untuk santap siang bersama kami.
"I will really love to." Ia mengiyakan sambil tersenyum padaku. Aku tercekat. Senyumnya manis sekali.
"Then come. You'll be very welcome," kata mas Nang, dan aku setuju dengan pernyatan itu.

Selama setengah jam berbincang-bincang di restoran itu berkali-kali matanya menatap dengan hangat ke arah mataku. Dari pupil matanya, dari ekspresi wajah dan dari gestur tubuhnya aku yakin bahwa ia menyukaiku. Sebenarnya aku pun menyukainya. Ingin aku mengisyaratkan hal itu kepadanya. Tapi seperti biasa, aku tidak menuruti dorongan hati semacam itu. Aku banyak mendapat pelajaran dari Berliana, kakakku, bahwa wanita adalah makhluk yang paling rawan terhadap pelecehan seksual dalam berbagai kelas, jenis dan bentuk.

Aku menerima ajakannya untuk sebuah makan malam yang indah setelah ia melakukan proses pendekatan yang panjang dan mungkin juga cukup membosankan selama berbulan-bulan. Ketika pada suatu sore yang cerah di sebuah pusat perbeanjaan aku menyatakan bahwa aku menerimanya menjadi pendampingku, ia melompat ke udara dan berteriak seperti orang gila. Dalam lubuk hatiku, aku amat tersanjung dengan segala perjuangan yang hampir membuatnya putus asa hanya untuk mendapatkan seorang Intan.

Ia menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang rumahku. Seperti biasa, kami berpelukan dan berciuman sebelum berpisah. Aku memandangi mobilnya yang bergerak menjauh sambil melambaikan tangan. Rutschel tinggal di jalan yang sama denganku, di sebuah town housing yang nyaman. Ada 30 rumah mewah berukuran sedang di dalam kompleks yang dikelilingi tembok tinggi itu. Di tengahnya terdapat sebuah lapangan tenis, sebuah lapangan voli, sebuah lapangan basket, dua buah lapangan badminton, sebuah gedung gymnasium, dan sebuah kolam renang yang cukup besar. Ia tinggal bersama adiknya Linda yang telah menjadi salah satu sahabat karibku.

Kudengar bunyi gembok pintu gerbang rumah kami dibuka. Pada saat membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah, aku dikejutkan oleh sesosok tubuh yang rupanya sejak lama berdiri mematung di belakangku. Ia adalah Tuni, salah satu pembantu rumah tanggaku.
"Sejak kapan kamu berdiri di situ?" tanyaku dengan nada heran.
"Dari tadi mbak," jawabnya.
"Waktu mobil dateng tadi kamu udah ada?"
"Udah mbak, nyender di pintu. Mbak Ayang aja sama om Ransel yang gak lihat."
"Rasyel..." kataku mengoreksi pelafalannya terhadap nama Rutschel, "Terus, kamu lihat tadi aku ngapain di dalem mobil sama dia?"
"Dikiiit..." jawabnya sambil tertawa. Mau tak mau aku pun ikut tertawa. Tuni agak sedikit terbelakang. Tapi ia sangat rajin dan jujur.
"Nih, bawa tasnya ke dalem. Kasih ke ibu sepuh. Ini semua isinya kwetiau rebus. Ada buat kamu juga sama Minah. Ambil yang mana aja. Semuanya sama," kataku sambil menyodorkan sebuah tas plastik besar kepadanya.
"Asiiik, Tuni dapet kwetiau rebus. Makasih ya mbak! Mbak Ayang baik banget deh sama Tuni. Baik, cakep, pinter, makanya Tuni sayang banget sama mbak," serunya dengan gembira sambil memandangi tas itu.
"Iyaaaah, udah bawa masuk gidah."

Minah membuka pintu gerbang rumah kami lebar-lebar karena kebetulan Ratna telah tiba dengan mobilnya.

Ratna
Sabtu, 11 April 2009, jam 20:00. Airin, gadis kecil yang cantik itu mengantarku berjalan menuju pintu regol. Aku membelai rambutnya sebelum masuk ke dalam mobil yang memang tak pernah kuparkir di halaman rumah ini.
"Tante Na pulang dulu ya Airin, besok lusa, pulang kantor tante mampir lagi ke sini," kataku berpamitan sambil mencium pipinya yang lembut.
"Iya tante. Bener besok mampir lagi ya tante," jawabnya.
"Hm mh. Daahh Airin..."
"Dahh tante Na..."
Bisanya ibunyalah yang melepasku pergi. Kali ini tak kuijinkan karena ia baru saja melahirkan anaknya yang ke dua yaitu adik Airin. Untuk alasan itu juga, saat ini aku berada di sini; menjenguk ia dan bayinya. Mereka baru pulang dari rumah sakit bersalin.

Larina Santi Gading atau Rina, ibu Airin, adalah calon kakak iparku. Ia kakak kandung Eri. Semenjak Eri berangkat ke Samarinda untuk mengemban tugas kantornya beberapa bulan yang lalu aku rajin mengunjunginya. Terlebih lagi di saat ia sedang hamil. Kebetulan rumahnya berada di routeku sehari-hari jika aku berangkat atau pulang kerja. Suaminya, Armada Gading, adalah pegawai negeri sipil golongan empat. Saat itu ia memangku jabatan setaraf eselon dua sebagai Direktur di salah satu Direktorat di Departemen Keuangan, Jakarta. Keluarga ini sudah menganggap diriku sebagai bagian dari keluarganya meskipun aku dan Eri belum pernah membahas masalah pernikahan kami dengan mereka.

Jam 20:30. Masih sempat kulihat Range Rover milik Rutschel, pacar adikku Intan, bergerak menjauh dari depan rumahku. Mobil itu selalu membangkitkan ingatanku akan mobil mas Nang yang satu seri lebih tua darinya. Mobil yang dulu pernah menjadi kebanggaan kakakku dan sering kutumpangi jika ia mengantarku ke suatu tempat sebelum aku sendiri mampu membeli mobil ini.

Di masa itu mas Nang menjadi tumpuan hidup kami. Karirnya yang cemerlang di perusahaan perbankan internasional pernah mengangkat derajat kehidupan kami yang nyaris terpuruk akibat kesulitan ekonomi di tengah resesi yang tinggi. Kini pahlawan kami itu sedang berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Semenjak peristiwa mengerikan yang menimpanya dua tahun yang lalu ia menjadi sosok yang amat pendiam, tidak lagi hangat, tidak lagi ceria. Kami bersyukur karena kami masih berhasil menyelamatkannya dari kejatuhan yang lebih dalam lagi. Ia pernah sakit. Sakit yang teramat parah. Baik secara fisik maupun psikis.

Meskipun kini ia bagaikan mayat hidup, ia tetaplah kami anggap sebagai pahlawan kami sepanjang masa. Sungguh sayang, jiwanya yang dahulu begitu hidup kini telah jauh terbenam di dalam kesendiriannya yang sunyi. Ia yang dahulu begitu jenius, jujur dan apa adanya. Ia yang menjadi pujaan hati banyak orang, kini seakan-akan telah membangun barikade dan dinding yang teramat tinggi untuk melindungi jiwanya dari dunia luar. Sering aku duduk sendiri di pinggir kolam angsa kesayangannya dulu, untuk mengenang masa-masa indah di kala ia masih menjadi pujaan hati segenap makhluk yang ada di sekelilingnya.

Aku membunyikan klakson mobilku untuk memberi isyarat akan kedatanganku kepada Intan, Tuni dan Minah yang kulihat tengah bercakap-cakap di depan pintu gerbang rumah kami. Minah membuka gerbang itu lebar-lebar agar aku bisa langsung memasukkan mobilku. Aku melewati mereka sambil membuka kaca jendela.
"Makasiih..." seruku sebelum memarkir mobilku di belakang mobil Intan. Mas Nang telah membangun sebuah garasi yang amat besar yang mampu menampung sedikitnya enam mobil meskipun di kala itu di rumah ini hanya terdapat sebuah mobil, yaitu BMW 520i keluaran tahun 1990 bekas kepunyaan ayahku dulu. Bahkan dikala itu pun ia telah meramalkan kesuksesannya. Kesuksesan yang akhirnya hancur di tangan seorang wanita; kekasihnya sendiri, calon isterinya yang ternyata seorang perempuan durjana.

"Jadi ke rumah Rina tadi mbak?" kudengar Intan bertanya di belakangku.
"Jadi dong, " jawabku sambil merangkulnya untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping, pintu yang menghubungkan garasi itu dengan koridor menuju ruang tengah rumah kami.
"Kayaknya gue liat mobil si Kenu tadi. Dari mana?" tanyaku kemudian. Kenu adalah julukan yang kuberikan kepada Rutschel karena dari beberapa sudut, wajahnya amat mirip dengan Keanu Reeves, bintang film Hollywood
"Dari rumah sakit. Tadi dia kena alergi," jawabnya.
"Masa?"
"Ho-oh!"
"Sama elo?"
"Ya iyalah! Masa sama nyokap?"
"Cuma ke rumah sakit doang?"
"Emang kemana lagi?"
"Kali aja nyangkut di mana dulu gitu. Nyempet-nyempetin."
"Mmakksutt lookh...?
"Mesra-mesra'an. Kan malem minggu."
"Mesra-mesra'an... Emangnya elo. Kalo elo sih gue percaya. Bumi lagi kiamat juga pasti masih nyempet-nyempetin mesra-mesraan sama si Eri. Tuh, gue cuma mampir beli makanan buat entar malem soalnya tadi sore Minah gak masak gara-gara kompornya ngadat."
"Buset, sedih amat, pake segala ada kompor ngadat."
"Namanya juga alat elektronik, ada waktunya ngadat."
"Emang kompor barang elektronik?"
"Lah, kan kompornya, kompor listrik."
"Oh, iya, ya. Suka lupa. Rasanya masih pake kopor minyak aja kayak jaman dulu."
"Laaahh! Kemane aje ente?"
Aku paling menyukai ekspresi wajahnya di saat-saat seperti itu.

Intan adalah makhluk kesayangan di rumah ini. Ketika kecil dulu wajahnya amat lucu. Tak seorangpun yang tak gemas melihat wajahnya. Kini ia telah menjadi gadis yang sangat cantik. Bahkan sejak ia masih duduk di bangku SMP, banyak tawaran baginya untuk terjun ke layar kaca baik sebagai bintang iklan maupun sebagai bintang sinetron. Tapi ia tak pernah bersedia menjalani casting atau audisi apapun. Usia kami terpaut dua tahun. Sejak kecil dulu kami selalu kompak, terutama di saat harus menghadapi Berliana yang dalam pandangan masa anak-anak kami dulu begitu nyinyir. Beberapa kali kami berhasil membuatnya menangis. Mas Nanglah yang biasanya mendamaikan kami dengan menyuruh kami minta maaf kepada Berliana.

Mas Nang... Yang kini begitu jauh di awang-awang. Masih besar harapanku agar ia 'turun' kembali ke dunia kami...

(Bersambung ke BAB II - Secercah Sinar Bidadari)

PENDAHULUAN - Dari Kamar Intan

Narita
Hampir dua jam aku duduk bersila di depan laptop yang kubuka di atas karpet di tengah kamar Intan. Sudah berkali-kali aku merubah posisi duduk supaya kakiku tidak kesemutan. Si pemilik kamar sendiri belum juga muncul, padahal sore itu kami berdua bermaksud mengerjakan dua tugas kelompok yang harus dikumpulkan pada hari Selasa. Begitulah, di saat kakakku Nandya yang bersedia mengantarku baru saja membelokkan mobilnya ke jalan besar, Intan menghubungiku melalui pesawat telepon selularku lalu berbicara tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menyela; "Halo Ta, Ta sorry banget nih gue kayaknya harus nganterin cowok gue dulu ke rumah sakit. Tapi lo langsung aja ke rumah gue ya? Lo tungguin gue di kamar. Nyokap udah tau kok kalo lo mo dateng. Data anak-anak ada di meja. Ya Ta ya? Ga pa-pa kan Ta? Gak lama kok, paling jam delapan gue udah balik. Oke say? Udah ya, gue mo cabut dulu. Lo ti-ti-di-je ya, salam sama teh Ndai. Oke? Dah cintaa... Mmmuaachhh." Aku cuma berharap ia tidak lupa waktu dan lupa diri lalu membiarkanku bekerja sendirian di kamarnya sampai larut malam.

Sebuah ketukan ganda terdengar lembut di pintu kamar. Jelas bukan Intan. Jika ia yang datang pintu itu pasti langsung terbuka lebar-lebar. Mungkin tante Marga - begitulah aku memanggil ibunda Intan - yang mengetuk pintu itu.
Tante Marga selalu menyempatkan diri mengunjungiku jika aku menginap di kamar Intan. Ia wanita yang ramah dan baik hati. Aku suka padanya.
Benar saja, di depan pintu itu ia berdiri dengan senyumnya yang khas. Kedua tangannya menggenggam sebuah nampan plastik. Di atasnya tampak sebuah teko yang terbuat dari kaca berisi cairan panas berwarna kecoklatan, sebuah mug keramik, dan sepasang cangkir. Ia menyodorkan nampan itu kepadaku.
"Nih sayang, tante bawain moka krim bikinan tante buat nemenin kamu begadang nanti malem. Enak deh, tante campurin jahe sama bubuk sinamon. Tapi jangan diminum sekarang. Masih terlalu panas. Nanti aja minumnya pas lagi anget-anget," katanya. Seharusnya aku menuruti nasehatnya ketika itu supaya keesokan harinya lidahku tidak terasa perih sepanjang hari.
"Wah, makasih banyak tante," kataku sambil menerima nampan tersebut dengan sukacita. Aku tak segera beranjak membawa nampan itu masuk ke dalam kamar karena aku tau mug di atas nampan itu bukan untuk kami. Dan benarlah, "Eh, sebentar sayang, mug itu punya tante," katanya sambil meraih mug tersebut dari atas nampan yang kupegang. Aroma yang khas tercium mengiringi kepulan uap yang keluar dari lubang kecil yang terdapat pada tutupnya. Aroma kopi yang harum. Aku mengernyitkan alis. Sepengetahuanku tante Marga tidak suka minum kopi.
"Sebenernya ini buat si Nang," katanya.

Nang adalah nama kecil dari Seto Sadino Koeri, kakak Intan yang paling tua. Aku biasa memanggilnya mas Nang. Ia anak sulung dari empat bersaudara di keluarga ini dan merupakan lelaki satu-satunya. Ayah Intan, Sadino Koeri meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Singapura ketika Intan masih berumur empat tahun. Semenjak itu isterinya, Margarini Koeri atau tante Marga hidup menjanda tanpa pernah menikah lagi.

Terpaut usia dua tahun di bawah Nang adalah adiknya, Berliana Resti Koeri atau Berli. Ia seorang wanita anggun yang mempesona. Namanya berganti menjadi Berliana Reksowiryo setelah ia menikah dengan seorang pengusaha muda tampan bernama Harkrisno Reksowiryo. Kris atau mas Kris, begitulah kami biasa memanggilnya. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat lucu bernama Aksel. Aksel menjadi salah seorang bintang sinetron cilik.

Lima tahun di bawah Berli adalah Ratna Deliani Koeri yang biasa dipanggil Nana. Ia seorang gadis tomboi bermata tajam yang cantik jelita. Menurutku Ratna wanita tercantik di rumah ini. Ia sangat akrab denganku. Secara kebetulan, kekasihnya, Eri Pramudya atau Iyek, masih bersepupu dekat denganku.

Dua tahun di bawah Nana adalah si bungsi Intan Deviana Koeri. Dialah maskot kesayangan keluarga ini. Semua orang di rumah ini memanggilnya Ayang. Aku sendiri tetap memanggilnya Intan. Ia gadis yang cantik, ceria, cerdas, mandiri, dan amat pandai bergaul. Dia menjadi sahabat terbaikku sejauh ini, walau terkadang, jika sifat isengnya kambuh, ia sengaja membuatku kesal. Hampir setiap hari ia menjemput dan mengantarku pulang dengan mobil kesayangannya. Kami menempuh pendidikan di fakultas yang sama, di sebuah universitas ternama yang propertinya meliputi area yang amat luas di kawasan Depok, Bogor.

Aku kembali duduk menghadap laptop sambil memandangi jendela kaca berbingkai putih di kamar Intan. Jendela itu selalu menjadi tambatan mataku jika aku sedang berfikir atau melamun. Sinar lampu malam memantul tajam di setiap siku di bingkainya. Langit malam pun terlihat dari sana. Sepertinya hujan akan segera turun karena kulihat angkasa telah dipenuhi mendung kelabu berselaput jingga. Warna jingga itu berasal dari cahaya kota yang terpantul kembali oleh mendung tebal yang menggantung rendah.

Dua berkas petir menyambar bersilang di bawah gumpalan awan. Sejenak jantungku serasa berhenti berdetak. Bukan karena ledakan halilintar atau karena cahaya kilat yang menyilaukan mata itu, melainkan karena dalam kilatan cahaya itu mataku menangkap sesuatu di atas sana. Di sana, di ujung belakang rumah Intan yang bersiku, sesosok tubuh berdiri tegak di atas tingkap. Jika aku percaya takhayul, pasti aku mengiranya hantu. Tapi ayah dan kakakku selalu mengajariku untuk tidak takut kepada hantu karena hantu itu cuma ada dalam fikiran manusia dan hanya menjelma karena kesalahan persepsi akibat halusinasi, ilusi atau delusi. Sosok di atas tingkap itu pasti manusia, dan karena rumah ini didisain anti maling, manusia itu tak lain tak bukan pasti mas Nang yang konon memang sering duduk menyendiri di tingkap itu.

(bersambung ke Bab I - Jiwa Di Balik Dinding)