Minggu, 25 Mei 2014

SENYUM SANG BIDADARI


Tulisan ini mengetengahkan pernak-pernik yang menghiasi hubungan antar manusia yang terbentuk, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan keluarga, disertai bermacam problema yang terjadi di dalamnya. Kisah yang bergulir di dalam suatu kurun waktu di awal tahun 2013 ini dituturkan oleh empat pribadi yang berbeda dengan 'kacamata'-nya masing-masing. Selamat menikmati...



1
Bintang Bintang Cemerlang


Nandya:
Jumat, 11 Januari 2013, jam 6:30 pagi.
Lalu-lintas di Jalan Mampang Raya menuju Jalan Kapten Tendean mulai terasa padat namun masih lancar. Aku memutar kemudiku ke kanan, memasuki jalan Mampang Prapatan VIII menuju rumah tempat tinggal Sinta. Dinihari itu ia menghubungiku melalui telepon, memintaku agar menjemputnya untuk bersama-sama berangkat ke kantor karena mobil kesayangannya sedang masuk bengkel perawatan.

Aku menghentikan mobilku tepat di depan rumahnya lalu memanggilnya melalui telepon selularku, memintanya agar segera keluar supaya kami bisa langsung berangkat untuk menghindari kemacetan lalu-lintas. Ia pun keluar dengan lambaian tangan dan senyumnya yang khas. Ia lalu masuk ke mobilku sambil mengunyah sepotong sandwich.

“Gak usah muter lagi kak Ndai, kita lurus aja,” katanya. ‘Kak Ndai’ adalah nama yang digunakannya untuk memanggilku. Lalu lanjutnya; “Di depan tu ada jalan umum, namanya Jalan Tegal parang. Entar kita belok kiri, lurus aja sampe ketemu Jalan Gatot Subroto. Di situ langsung ambil kanan aja, arah ke Kuningan. Jangan ambil kiri. Yang ke kiri itu....”
“Udah tau, neng, tenang aja,” jawabku, memotong uraiannya yang mungkin akan panjang.
“Oh, pernah lewat sini?” tanyanya, sambil melap mulutnya dengan tissue.
“Sering, dulu, waktu gue masih sekolah. Kan nenek gue pernah punya rumah di daerah sini.”
“Oh, nenek kak Ndai pernah tinggal di sini juga? Nenek dari pihak siapa nih kak?”
“Dari pihak siapa ya? Dari pihak yang berwajib kali.”
“Hahahahhhh!” ia tertawa renyah, “Emang, neneknya polwan? Ngasal.”
“Ya elu, kepo. Nanya yang gak penting-penting. Mendingan pasang seat-beltnya gidah. Takut entar lupa.”
“Aku nyalain radionya ya?”
“Nyalain aja.”

Ia segera menyalakan radio mobilku, lalu memindah-mindahkan frekuensinya secara acak sampai terhubung dengan sebuah saluran lokal yang kala itu tengah memutar lagu-lagu berirama alternative dance. Maka berkumandanglah sebuah lagu lama berjudul Unbelievable. Ia pun menggoyangkan badannya.

“Ni, yang gue cari,” katanya, lalu menoleh ke arahku, “Semangat kak!”
“Pagi-pagi gini, biasanya sih gue dengerin berita.”
“Aku biasanya dengerin ginian.”
“Bukannya gak suka musik. Gue cuma gak mau ketinggalan berita penting.”
“Berita bisa didapet kapan aja kak. Semangat kan gak setiap waktu. Membangun semangat bisa mempertinggi produktifitas, ya kan?”
“Iya juga sih.”
  
Sinta Dorthina Tobing, 24 tahun, adalah wanita cantik berdarah campuran batak-minahasa. Ia bekerja sebagai staf  Seksi Pengesahan, Divisi Pembayaran, di Bagian Keuangan Perusahaan StarFix Custody Corporation Ltd. Ia baru saja melalui masa percobaan dan dinyatakan lulus sebagai pekerja tetap. Aku sendiri telah hampir lima tahun bekerja di perusahaan yang sama, mengepalai Divisi Pembinaan dan Pengembangan Pegawai, di bawah Bagian Personalia.

Sinta dibesarkan di lingkungan keluarga berada. Ia termasuk anak yang mengecap kasih sayang orang tuanya lewat cara asuh yang baik. Ia memperoleh pendidikan dan segala keceriaan sebagaimana yang selayaknya dirasakan oleh seorang anak. Ia tumbuh sebagai wanita periang, pemberani, terbuka dan memiliki kepercayaan diri yang besar.

Sebelum ia masuk ke kantor itu, kami telah lama saling mengenal sebagai sesama anggota sebuah kelab kebugaran. Meskipun usianya jauh lebih muda dariku dan jenjang karir serta kepangkatannya terpaut tiga tingkat di bawahku, tak sedikitpun ia merasa minder dan sungkan kepadaku.

Lampu lalu-lintas menyala merah ketika kami tiba di perempatan jembatan layang Kuningan. Kaca jendela sebuah mobil jenis SUV (Sport Utility Vehicle) di samping kiri kami tiba-tiba terbuka, lalu terdengar bunyi klakson pendek bernada menyapa. Sinta menoleh ke arahnya, namun segera berpaling kembali dengan raut muka seperti orang yang baru saja mencicipi jeruk nipis. Aku sendiri  tak dapat melihat orang itu karena jendela mobilnya lebih tinggi dari jendela mobilku sehingga pandanganku terhalang oleh atap mobilku sendiri. 

“Siapa Sin?” tanyaku.
“Gak tau, gak kenal! Paling juga om-om celamitan,” jawabnya tanpa antusias.
“Ah, masa iya ada om-om celamitan pagi-pagi gini?”
“Abis, kenal juga enggak, cengar-cengir, dadah-dadah.”
"Cakep gak?"
"Lumayan."
“Bales aja kali Sin. Siapa tau temen kantor.”
“Kaaalo temen. Kalo bukan? Entar dia kege-eran, kita yang repot. Ogah ah.”
“Kalo ternyata temen, gimana?”
“Gampang tinggal minta maap. Daripada resiko digombalin om-om ganjen? Kak Ndai mau?”
“Ya enggak sih.”
“Makanya.”
“Tapi kan...”
“Kak Ndai ah, please deh. Tuh, udah ijo lampunya. Yuk cap-cuss. Aku pengen pie nih!”

Ketika lampu kembali menyala hijau, SUV itu mengambil posisi tepat di belakangku. Kini aku dapat melihat dengan jelas setiap orang yang ada di dalamnya. Hanya ada satu orang saja di sana, duduk di belakang kemudi. Dan aku kenal siapa orang itu. Ia tak lain dan tak bukan adalah Jumed Sumohadi, Kepala Bagian Keuangan yang baru, calon boss baru Sinta, yang akan mengawali tugasnya pada hari Senin nanti, menggantikan posisi pejabat lama yang telah habis masa kontraknya dan akan segera di tarik pulang ke negerinya. Aku memang tak sempat memperkenalkan pria itu kepada Sinta di hari sebelumnya sebab ia sedang diperbantukan di kantor cabang kami, di Jalan Matraman.

SUV itu, tentu saja, tetap mempertahankan posisinya membuntuti kami melintasi kawasan Mega Kuningan, menyusuri jalan Cassablanca, berputar di bawah jembatan layang Karet dan berbelok ke kiri, ke arah gerbang belakang komplek gedung perkantoran kami, lalu ikut mengantri pengambilan tiket di mesin secure parking. Setelah menemukan tempat yang cocok, aku memarkir mobilku di area parking lot yang terletak di dekat pintu masuk gedung.

“Kok tu orang ngikutin kita sih? Apa kantornya di sini juga?” Sinta bergumam.
“Kantor dia emang di sini juga sih, Sin,” kataku, menanggapi ucapannya tersebut.
“Lah, kak Ndai kenal?” tanyanya setengah terkejut.
“Ya kenal lah, orang sekantor,” jawabku. Ia melirik sambil mengerutkan keningnya..
“Serius? Kok nggak bilang dari tadi? Bikin aku parno aja.”
“Ya tadi kan mukanya gak kelihatan. Mana gue tau, kalo itu dia.”
“Emang sih, kayaknya aku pernah lihat itu orang. Tapi lupa kapan.”
“Mungkin pas dia lagi mampir. Soalnya sampe kemaren ini dia ditugasin di Kantor Cabang Medan. Nah sekarang dia ditarik lagi ke Jakarta. Besok Senin dia mulai aktif.”
“Emang siapa sih dia kak?”
“Jumed. Senior gue di sini. Orang hebat.”
“Jumed...” Sekejap ia tertegun, lalu tiba-tiba ia menatapku dengan wajah pucat seperti orang terserang demam tinggi. “Jumed tuh bukannya nama boss aku yang baru?”
“Ya betul. Jumed Sumohadi. MBA. Kepala Bagian Keuangan yang baru”
“Alamaaak,” desahnya sambil membelalakkan matanya, “Mampus dong gue!”
“Kenapa?”
“Tadi di jalan, dia aku cuekin abis.”
“Ya gapapa kali. Kan tadi emang lo belom kenal. Dia juga belom kenal elo.”
“Tapi kok tadi ketawa-ketawa ke aku? Pake dadah-dadah, lagi.”
“Mungkin tadi dia ngenalin mobil gue Sin. Dikiranya, elo asisten gue, kali.”
“Oo iya, kali ya. Terus, gimana dong kak. Ah, bodo ah. Masa iya gue dipecat gara-gara cuek?”
“Asal jangan sampe dia tau aja, kalo lo tadi sempet ngatain dia ‘om-om ganjen celamitan’,” kataku. Ia menoleh seketika ke arahku bagai ditampar hantu.
“Ya jangan, gila!” serunya, “Mampus aja gue kalo sampe dia tau.”
“Lah, kata lo tadi, gampang tinggal minta maaf.”
“Ini lain perkara. Jangan sampe kak Ndai keceplosan. Oke? Janji ya, please, please, please.”
“Insyaallah.”
“Kok insyaallah? Yang serius dong kak.”
“Dalam agama gue, ucapan insyaallah itu ucapan serius Sin. Lebih serius dari sekedar janji.”
“Sip lah kalo gitu. Thanks ya kak. Tapi sorry, aku duluan ya, aku mau ke toilet. Kebelet!”

Ia turun dari mobilku lalu dengan setengah berlari segera bergegas pergi menuju lobby gedung perkantoran kami. Aku melirik arlojiku. Jam 07:22. Aku pun turun dari mobilku lalu meraih handbag untuk disangkutkan di bahuku, kemudian menutup pintu mobil dan mengaktifkan alarmnya. Aku berjalan dengan santai mengingat kantor kami baru akan aktif jam 08:00 dan akan memulai aktifitas penuh melayani publik jam 09:00. Kulihat Jumed menghampiriku sambil melambaikan tangan. Aku berhenti untuk menunggunya.

“Assalamu’alaikum mbak Nandya, apa kabar?” tegurnya dengan sopan.
“Wa’alaikum salam, pak Jumed. Baik, alhamdulillah. Pak Jumed sendiri gimana? Sehat?”
“Alhamdulillah, atas doa mbak Nandya. Biasa dateng pagi ya mbak ya?”
“Iya pak Jumed. Biar nggak kejebak macet.”
“Oh, ya betul itu mbak. Cocok sekali.”
“Pak Jumed juga biasa dateng pagi nih rupanya?”
“Iya mbak Nandya, saya juga lebih memilih dateng pagi,” katanya. “Jadi kita ini mbak Nandya, dengan cara begini, bisa dapet tiga keuntungan sekaligus. Pertama, ndak kena macet, iya to? Yang ke-dua, udaranya juga masih seger. Terus ke-tiganya, anu, apa itu? Disiplinnya tu dapet, gitu lho, senantiasa terpenuhi. Iya to? Berarti mbak Nandya ini, sepandangan dengan saya.”

Di koridor elevator, kami mendapati Sinta baru saja keluar dari Rest Room. Melihat kami datang menghampiri, ia pun melempar senyum kepadaku lalu menganggukkan kepalanya kepada Jumed. Kala itu pintu salah satu lift sedang terbuka dan kami bergegas memasukinya bersama beberapa pengguna lainnya. Ketika aku hendak memperkenalkan Sinta kepada Jumed, tanpa diduga tiba-tiba Jumed menyapa Sinta.

“Halo Sinta,” katanya sambil tersenyum ramah.
“Halo. Eh, maaf, selamat pagi pak Jumed,” jawab Sinta dengan tergagap. Ia mengerling padaku dengan tatapan penuh tanya. Aku pun mengangkat bahu sebagai tanda bahwa aku juga tak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi.
“Ah, ternyata kamu masih ingat saya. Saya senang sekali. Ndak disangka ya, akhirnya kita bisa jadi teman kerja,” kata Jumed kemudian.
“Iya pak. Nggak disangka,” jawab Sinta sambil tetap mengerutkan keningnya, berfikir keras.
“Sukurlah. Waktu saya minta tolong kamu mengerjakan laporan saya dulu itu, saya berdoa semoga kamu berhasil melewati masa probation. Soalnya saya seneng lihat respon, kecepatan, cara dan hasil kerja kamu. Alhamdulillah, doa saya terkabul. Iya toh? Malahan saya sekarang ditugasi memimpin Bagian tempat kamu bekerja. Seneng aku.”
“Oh, iya,” jawab Sinta dengan wajah cerah, “Saya juga senang. Terimakasih atas doanya ya pak." Akhirnya ia ingat kapan dan bagaimana mereka pernah bertemu. Rupanya Jumed pernah memintanya tolong mengerjakan sesuatu di saat ia masih menjalani masa percobaan.
“Ya, sama-sama. Siap-siap ya Sinta, besok Senin, kita akan memulai hari yang baru di kantor kita. Banyak hal-hal besar-kecil yang sepertinya mesti kita beresin. Kamu bantuin saya ya?”
“Iya pak, pasti pak. Siap!”
“Bagus sekali. Oke kalo begitu ya, bu Nandya, Sinta, saya harus ke lantai lima. Sampe hari Senin ya. Sukses ya. Assalamu’alaikum.” kata Jumed sebelum melangkah keluar di lantai 5.
“Wa’alaikum salam, sukses pak,” jawabku dan Sinta secara bersamaan.

Sepeninggal Jumed, Sinta menarik nafas dalam-dalam dan melepasnya dengan penuh kelegaan sambil sedikit mengibaskan rambutnya seakan-akan beban di kepalanya baru saja lepas. Setibanya di lantai 8, kami pun keluar. Di ujung koridor, kami harus berpisah sebab kantorku terletak di sisi kanan, sedangkan kantor Sinta terletak di sisi kiri. Di sepanjang koridor itu aku merangkul pundaknya yang sedikit lebih rendah dari pundakku.

“Pantes aku nggak ngenalin. Dulu dia pake kacamata tebel, bukan soft lens,” kata Sinta.
“Tau nggak Sin,” kataku, “Ini hari, bisa jadi hari keberuntungan buat elo.”
“Kok bisa gitu kak?”
“Pertama, pak Jumed inget elo, dia inget nama lo. Itu poin banget buat elo.”
“Puji Tuhan. Terus kak?”
“Ke-dua, dia minta elo bantuin dia beresin banyak masalah, secara langsung, face to face. Itu juga poin sebab sebenernya secara struktural dalam kerja, elo itu sebates bertanggung-jawab ke Nicky, Nicky bertanggung-jawab ke mbak Wiwik, baru, mbak Wiwik ke pak Jumed. Nah, secara nggak sadar, elo udah berhasil dapetin yang disebut 'the moment of truth' di level yang bagus, Di mata pak Jumed, sementara ini elo punya nilai lebih dari cuma sekedar staf biasa. Itu musti lo jaga bener-bener. Asal lo tau, pak Jumed itu calon International Officer, artinya, dia itu bisa ditempatin di mana aja di seluruh dunia sebagai Deputy, atau malah CEO yg mimpin persusahaan di negara mana aja. Lewat pak Jumed, insyaallah karir lo bakal melesat.”
“Amin, ya Tuhan.”


Jumat, 11 Januari 2013, jam 9:30 pagi.
Aku tengah asik memeriksa incoming tray dan outgoing tray (nampan-nampan plastik tempat surat-surat yang baru masuk dan surat-surat yang hendak dikirim keluar) kala itu, ketika Spinette dengan santai memasuki ruang kantorku yang pintunya belum kututup. Kemunculannya di ruang kantorku membuat jantungku berdebar-debar.

“Morning Nandya,” sapanya, sambil tersenyum lebar.
“Good morning Mr. Spinette,” balasku.
“Pierre, please,” tukasnya. Ia minta dipanggil dengan nama itu.
“Pierre, is there anything I can do for you?” tanyaku, kalau-kalau ia memerlukan bantuanku.
“Yes, I need your help,” jawabnya, mengiyakan.
“Oke. I’ll be just a minute. Would you please have a seat,” kataku, mempersilakannya duduk dan menunggu sebentar.

Jean Pierre Spinette adalah salah seorang International Officer yang saat itu menjabat sebagai Deputy dan bertugas khusus membantu CEO (Chief Executive Officer) perusahaan kami. Ia warga negara Filipina berdarah Perancis. Ia seorang duda beranak satu. Anak perempuannya, Audree, bersekolah di salah satu sekolah internasional yang cukup terkemuka di Jakarta. Isterinya meninggal dunia di kala Audree masih berusia 9 tahun.

Ia menghempaskan dirinya di salah satu sofa tamu di ruang kantorku sementara aku memanggil Maudy, sekretarisku, untuk segera mengelola surat-surat yang telah kutanda-tangani serta membuat beberapa konsep surat balasan. Setelah Maudy pergi, aku pun segera menutup pintu lalu duduk di hadapan Spinette dengan posisi sesopan mungkin. Kedua matanya yang cokelat memandangi wajahku dengan tatapan sedemikian rupa hingga membuat bulu kudukku merinding. Harus kuakui, wajahnya tampan sekali.

“Well, then Pierre, what is it about?” tanyaku.
“Have you got our official circulair?” Ia balas bertanya. Yang ia maksud pasti surat edaran yang dibagikan khusus bagi para pejabat setingkat manager tentang sebuah kasus yang terjadi di kantor cabang kami di kota Padang baru-baru ini.
“The one that refers to the Padang case,” kataku untuk memastikan.
“That’s it.”
“Yes I have.”
“And what do you say?” tanyanya, meminta pendapatku.
“I’d got no idea, Pierre. The case is so unusual. Nothing was like this before. I hope there will be an intensive investigation immediately,” jawabku, mengutarakan bahwa aku tak tau harus berbicara apa sebab kasus yang terjadi kali ini sangatlah tidak biasa. Aku hanya berharap kasus tersebut akan segera diselidiki secara intensif secepatnya.
“The investigation has just begun. I’m the one who get in charge,” jawabnya, bahwa penyelidikan itu telah dimulai dan dialah yang memimpin penyelidikan itu.
“Oh, that’s great, I’ll do my best to support,” kataku, bahwa aku siap mendukungnya.
“Thank you,” katanya sambil menangkupan kedua telapak tangannya, “Your support is so important this time. Now, I had been confirmed that there is a file under your responsibility code named Randai. I would like to start my job with that, if you don’t mind,” lanjutya. Ia tertarik pada berkas rahasia yang kami beri kode 'Randai' yang sepenuhnya berada di bawah tanggung-jawabku untuk menjaganya.
“Sure, Pierre. But firstly, please be confirmed that until this second the package is confidential. We should keep it that way until the whole case is discovered.”
“I understand. You got my promise.”

Aku segera membuka brankas tempat menyimpan surat-surat dan berkas-berkas yang berstatus rahasia. File yang dimintanya terdiri dari berbagai dokumen yang telah terkemas dengan rapi dalam satu folder khusus. Hampir dua jam ia berdiam diri di sofa itu, mengamati dan mencatat dengan serius setiap lembar dokumen yang kuberikan padanya, sementara aku sendiri dengan leluasa mengerjakan tugas-tugasku di mejaku.

“Nandya,” katanya pada akhirnya, “I will ask Ira to arrange a meeting in my room on Tuesday. There will be twelve of us sitting there; Ira herself, you, Mr. Walker, Jumed, Yenny, Jalal, Hayati, Shridar, Ratna, Cindy, Wim and me. Make sure that you and Ratna will be there earlier. I really need you both. Now I have to ask Janette, my secretary to arrange Jamal, Hayati and Shridar’s ticketing and everything for their departure to Jakarta,” lanjutnya, menjelaskan bahwa ia akan meminta atasanku, Ketut Irawati (Kepala Bagian Personalia) untuk mengatur sebuah pertemuan di ruang kerjanya pada hari Selasa, yang akan dihadiri oleh 12 peserta, yaitu Ira sendiri, aku, Thomas Christopher Walker (CEO kami), Jumed Sumohadi (Kepala Bagian Keuangan), Choa Yenny (Kepala Bagian Sekuritas), Jalaludin Sjarif (Kepala Divisi Dukungan Teknik cabang Padang), Hayati Burhan (Kepala Perwakilan Kepegawaian cabang Padang), Shridar Sinivasan (Kepala Perwakilan Keuangan cabang Padang), Ratna Koeri (Kepala Seksi Kondite dan Prestasi Pegawai), Cindy Kairupan (Kepala Seksi Penerimaan, Orientasi dan Training), Wim Tanamal (Kepala Divisi Penggajian) serta Spinette sendiri. Ia meminta agar aku dan Ratna hadir sebelum rapat dimulai. Ia juga akan memerintahkan sekretarisnya Janette untuk mengurus keberangkatan Jalal, Hayati dan Shridar dari Padang ke Jakarta.

Jean Pierre Spinette meninggalkan ruang kantorku setelah sebelumnya menyalamiku sambil mengucapkan terima kasih. Sebenarnya aku berharap agar siang ini ia mengajakku keluar untuk makan siang. Harapan yang lebih pantas disebut angan-angan, atau bahkan khayalan yang nyaris tak mungkin terjadi sebab Spinette tak seberapa mengenalku dan tak pernah menaruh perhatian khusus padaku, apalagi sampai menaruh minat terhadap diriku.


Jumat, 11 Januari 2013, jam 11:32 pagi menjelang siang.
Telepon selularku tiba-tiba berdering. Aku meraihnya lalu memeriksa layarnya untuk mengetahui siapa yang tengah meneleponku. Ternyata dari Narita, seseorang yang paling kusayangi di dunia ini. Aku segera menerimanya.

“Halo sayang,” sapaku.
“Halo teh, teteh tadi pagi berangkat cepet ya teh?” tanya Narita dengan suaranya yang merdu. Suara Narita bagiku adalah suara yang paling merdu di dunia. Suara itulah yang selama ini mengisi hari-hariku. Suara yang begitu bening, polos dan mampu membangkitkan semangatku di saat-saat jiwaku sedang rapuh. Suara yang seolah datang langsung dari langit, dari bibir seorang bidadari.
“Iya adik, maap ya, teteh gak sempet nemenin kamu sarapan. Abis, buru-buru, harus ngambil surat dulu di rumah pak Wawan, udah gitu jemput Sinta di rumahnya.”
“Gak apa-apa atuh teh, Ita cuma mo minta ijin, nanti malem Ita mo nginep di rumah Intan.”
“Boleh, gak apa-apa. Udah minta ijin sama mamanya Intan belum?”
“Udah teh. Mamanya Intan seneng banget Ita mau nginep.”
“Pasti adik, dia pasti seneng. Mau bikin acara apa sama Intan?”
“Acaranya ngerjain tugas kampus teh.”
“Ya ampun. Kirain mau senang-senang. Emangnya kamu masih punya sisa tugas?”
“Masih teh, masih ada dua tugas kelompok dari dua mata kuliah pilihan. Hari Rabu harus dikumpulin. Sebenernya, kata dosen-dosennya sih, nilainya udah nggak ngaruh buat Ita. Tapi Ita pengen bantuin temen-temen yang masih butuh bobot nilainya buat ngedukung UAS. Kalo dua-duanya dapet nilai di atas sembilanpuluh kan lumayan. Abis ini kelar, Ita bebas liburan.”
“Ya udah. Kamu mau berangkat sama siapa?”
“Dijemput sama Felix pake motor.”
“Felix juga ikut nginep?”
“Enggak teh. Dia cuma mau nganterin Ita, udah gitu langsung jemput Fransisca, pacarnya. Yang ikut nginep nanti Azizah sama Patty.”
“Iya deh. Ati-ati di jalan ya cinta, helmnya dipake. Bilang sama Felix, bawa motornya jangan ngebut-ngebut.”
“Iya teh. Makasih teh. Udah ya teh, dah teteh.”
“Daah.”


Ratna:
Jumat, 11 Januari 2013, jam 9:30 pagi.
Tak seperti biasanya, pagi itu Jean Pierre Spinette mengunjungi atasanku Nandya. Tampaknya ada hal yang cukup serius untuk dibicarakan. Hal ini mungkin menjadi kejutan tersendiri bagi Nandya yang telah lama ia menaruh hati pada pria itu. Spinette sangatlah jarang kerluar dari ruangan kantornya jika tidak sangat perlu sekali. Ruang kantor Spinette termasuk salah satu ruangan yang paling mewah di gedung perkantoran ini.


Nandya, atau nama lengkapnya Nandya Maharani Sangadji adalah Kepala Divisi Pembinaan dan Pengembangan Pegawai. Kedua orang tuanya berasal dari Jawa Barat. Ayahnya, Kurnia Hendra Sangadji, adalah seorang pengusaha sukses dari Cirebon. Om Hendra - begitu, aku memanggilnya - saat ini dicalonkan menjadi calon pejabat legislatif oleh sebuah partai politik yang cukup besar. Ibunya, Arini Kartasasmita, atau tante Ani, yang nama lengkapnya sekarang berubah menjadi Arini Sangadji, adalah wanita keturunan sunda yang berasal dari Lembang, Bandung. Keluarga kami sangatlah akrab.